Friday, February 4, 2011

Love Ya!!! chapter 10

Love Ya!!!

By Imah Hyun Ae


Chapter 10
Arga, Tentang Lia dan Egi

¬~Bandara, sekarang ini ~
Aku berdiri. Beberapa orang tampak melakukan hal yang sama. Sepertinya mereka juga menunggu teman atau kerabat mereka keluar dari pintu itu.
Aku mengedarkan pandanganku. Jantungku seperti tak berdetak saat kulihat dua sosok di sebelah sana. Lia dengan jaket merah dan rambut tergerai rapi berjalan beriringan dengan satu sosok yang semakin tampak dewasa itu. Lia tampak cantik dengan dandanan minimalisnya dan Egi tanpak gagah dengan setelan kemeja hijau kotak-kotaknya. Kulihat lelaki itu tengah menarik dua koper. Pasti satunya milik Lia.
Seketika suara Arga terngiang di telingaku.
“Jika terjadi apa-apa denganku, aku justru ingin laki-laki yang menggantikan posisiku adalah dia…”
***

~Sebulan Usai Pernikahan Lia dan Arga~
Aku sedang di toko buku, mencari-cari buku pembelajaran yang kira-kira sesuai dengan proposalku, ketika satu sosok berkemeja biru bermotif garis putih terlihat oleh mataku. Sepertinya aku kenal siapa dia.
Seolah merasa kuperhatikan, dia menoleh ke arahku. Kusambut tatapannya dengan senyum canggung. Perlahan dia mendekat.
“Ima kan?” tanyanya. Mungkin untuk meyakinkan dirinya kalau dia tak salah orang.
Aku mengangguk.
“Apa kabar?” tanyanya lagi sembari tersenyum cerah.
“Baik, seperti yang kau lihat. Kau sendiri?”
“Sama. Seperti yang kau lihat juga. Eukyang-kyang…”
Aku tertawa mendengar tawa khasnya itu. “Membeli apa?” tanyaku akhirnya usai tertawa.
“Ah… ini. Buku pesanan Lia.” Wajahnya memerah saat nama ‘Lia’ dia sebut.
“Cie… pasangan baru perhatian sekali…” godaku. Wajah Arga makin memerah.
Hm… kurasa Lia benar. Arga memang lebih tepat di sebut imut dari pada tampan, hehe…
“Kamu sendiri?” dia melihat buku yang kupegang.
“Oh. Buku tambahan untuk proposalku.” Dia mengangguk.
“Aku ke kasir dulu ya?” pamitnya.
“Ah, aku juga mau ke sana sebenarnya.”
“Ya, sudah. Kita sama-sama saja.” Ucapnya sembari tersenyum hangat.
Kamipun sama-sama menuju kasir. Usai membayar dia mempersilahkan aku duluan.
“Bilang pada Lia, jangan membiarkan suami tersayangnya berkeliaran seorang diri,” godaku lagi.
Lagi-lagi wajah putih Arga memerah.
“Hey!! Kau senang melihatku malu, ya?” ujernya salah tingkah. Aku tertawa pelan melihat tingkahnya.
“Mm… sampai jumpa. Titip salam buat Lia, ya?” pamitku.
Arga mengangguk. “Main-mainlah ke kos kami, hehe…”
Aku mengiyakan dengan gumaman lalu melangkah pergi.
“Mm… Ma?” panggil Arga tertahan.
Agak ragu aku berbalik. Kulihat Arga seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu. “Ada apa?”
“Mm…” dia menarik napas. “Lia dan Egi…”
Deg! Kenapa dengan mereka?
“…apa sudah lama saling mengenal?” sambung Arga pelan.
Aku menatapnya. Mencari tahu adakah hal yang mengganggu pikirannya. “Ya,” jawabku lambat. “Setahuku sudah sejak SD mereka berteman.”
Arga manggut-manggut sembari berkata, “Jadi selama itu…”
Kutemukan gurat gundah di wajahnya.
“Kenapa?” tanyaku khawatir.
“Orang luar… tak seharusnya masuk di antara mereka kan?” ucap Arga setengah bergumam.
“Eh?”
Arga tersenyum. “Lupakan! Sampai ketemu lagi…” Ia lantas berbalik dan melangkah. Meninggalkanku dalam kebingungan yang di buatnya.
Seharusnya aku paham maksud perkataanmu waktu itu, Ga. Maaf…
***

~Sebulan setelah pertemuan itu~
“Ima!!!”
Aku sedang membayar belanjaanku di minimarket yang tak jauh dari kampus, ketika sebuah suara memanggilku. Aku menoleh. Kudapati si pemilik wajah ceria yang Lia cintai itu tengah memandangku.
“Bisa temani aku?” tanyanya pelan.
Aku diam sesaat. Mendapati lekuk gundah di wajahnya membuatku tak sadar menganggukan kepala.
Di belakangnya aku mengikuti.
“Maaf kalau aku mengganggu kesibukanmu,” ujernya ketika langkahnya berhenti di dekat gerbang universitas.
“Tidak apa-apa,” jawabku ragu. Apa benar ini tidak apa-apa? Bagaimana kalau ada yang mengenal kami lewat dan salah sangka?
“Aku cuma ingin seseorang mendengarkanku…” ucapnya pelan.
Aku baru mau menjawab, ‘Lia pasti mendengarkanmu’ ketika dia berkata lagi,
“Tentang Lia dan juga Egi.”
Eh? Kenapa dengan mereka?
Arga duduk di jembatan kecil di jalanan gerbang itu. “Kalau ada dua orang yang menyukaimu, yang satu memberi kegembiraan padamu dan yang satunya lagi memberi rasa nyaman, mana yang kau pilih?”
Kutatap dia yang memandang lurus pada jalanan di depan kami.
“Kalau aku, mungkin akan memilih rasa nyaman. Perasaan itu jauh lebih lama bertahan kan?”
Arga menatap perih padaku. Ada apa dengannya? Apa jawabanku melukainya?
“Aku tanya pada Lia ‘Apa arti aku bagimu?’ dan Lia menjawab ‘Kegembiraanku’. Lalu kutanya, ‘Kalau sahabat baikmu?’, dia menjawab ‘Ima dan Nana adalah adik dan kakak tersayangku. Sedang Egi adalah abang terbaikku’ sambil tertawa. Kutanya lagi dengan hati-hati, ‘Kalau bersama Egi, apa yang kau rasakan?’. Dia jawab sambil tersenyum dengan tenang, ‘Nyaman. Mungkin karena dia sudah kuanggap seperti abang kandungku’.” Arga memandangku dengan gurat luka yang makin jelas di wajahnya.
Apa dia merasa sakit hati dengan jawaban Lia?
“Menurutmu, cinta itu apa?” tanyanya sambil mengalihkan pandagannya ke jalanan lagi. “Kegembiraan atau rasa nyaman?”
Aku menggigit bibir bawahku. Apa dia bermaksud bilang kalau Lia tak sadar telah mencintai Egi?!!
“Rasa nyaman, kan?” simpulnya sambil lagi-lagi menatap perih padaku.
“Kenapa… kau katakan semua ini padaku?”
Arga menunduk. Memainkan jemarinya. Tanpa melihat ke arahku dia berkata, “Karena kurasa kau pendengar yang baik.” Katanya pelan.
Aku mendengus. “Lain kali jangan ceritakan apapun lagi padaku. Aku tak tahu juga tak mau tahu!” tegasku sengit. Lantas berbalik pergi.
Bagaimana mungkin aku bisa dengar segala hal tentang Lia yang ‘mungkin’ tidak sadar mencintai Egi. Lia yang begitu Egi cintai selama ini?!!
“Karena ku pikir kau bisa menyimpan rahasia, makanya aku ceritakan semua padamu.” Langkahku terhenti. “Aku ingin seseorang mendengarkan kegundahanku.” Sambung Arga setengah berbisik.
“Aku ingin Lia hanya memandangku, apa itu terlalu egois?” ia kembali mengutarakan isi hatinya.
Aku menghela napas dan kembali memandangnya. “Semua yang kau lakukan terasa benar ketika kau begitu mencintai seseorang,” kataku akhirnya.
Arga tersenyum tipis. “Aku memang sangat mencintainya, Ma,” jujurnya lirih. “Apa kau tahu bagaimana caranya membuat dia hanya memandangku?”
Aku diam untuk sesaat. “Bagaimana kalau kau membawanya ke tempat yang cukup jauh dari Egi.”
“Eh?” dia terkejut dengan saranku. Saran yang hadir bersamaan dengan keegoisan di hatiku.
“Lalu buat Lia merasa bahagia karena telah memilihmu,” tambahku.
Satu detik. Dua detik. Tak ada reaksi dari Arga. Namun di detik ke lima kulihat senyum khasnya mengembang.
Ternyata meski jauh, hati mereka tetap terikat kan, Ga?
***

~Tiga hari sebelum berpisah dengan Lia~
Aku keluar dari rumah. Siap mau ke kampus. Namun satu sosok di depan pagar rumahku membuat langkahku melambat. Dia memberikan cengiran khasnya padaku. Kali ini tak ada duka di wajahnya. Apa… sekarang Lia sudah hanya memandanganya saja?
Aku tersenyum padanya sembari berkata, “Ada hal yang membahagiakan rupanya…”
Arga tertawa dengan tawa khasnya.
“Kau benar. Tiga hari lagi aku dan Lia akan pindah. Kami akan tinggal di rumah orang tuaku. Hehehe… Kau tahu? Kupikir dia akan menolak, ternyata saat kutanya dia justru menyetujuinya. Ah… betapa leganya aku sekarang…” Wajahnya benar-benar menggambarkan kegembiraannya. Aku tersenyum melihat wajah cerahnya itu.
“Eh, kau suka korea juga kan?”
Aku mengangguk cepat.”Kenapa?”
“Umm… bagaimana mengatakan ‘Aku mencintaimu’ dalam bahasa korea?”
“Eh?”
“Ayolah… biar Lia semakin suka padaku.” Dia memberikan senyum lebarnya.
Aku tergelak. “Saranghae…” jawabku usai puas menertawakan kepolosannya.
“Eh?”
“Saranghae,artinya aku mencintaimu.” Jelasku sambil mengulum senyum.
“Sa… ‘Sa’ apa?” tanyanya meminta pengulangan.
“Sa-rang-hae,” aku memutuskan mengejanya.
“Sa-rang…” dia mencoba dengan semangat tinggi.
“Hae…” sambungku.
“Sa-rang-hae…” wajahnya kian girang. “Yee…!!! Aku bisa!!” dia bersorak riang.
Aku tergelak. “Kalau kau sungguh mencintainya maka tambahkan kata ‘Jeongmal’.”
“Jeong… Apa?”
“Jeongmal,” ulangku. Dia mengangguk-angguk paham.
“Jeongmal saranghae, artinya aku sungguh mencintaimu.” Terangku.
“Jeongmal… saranghae…” dia mencoba. Senyumnya semakin sumringah saat sukses mengatakan kalimat itu.
“Lia akan lebih terkesan kalau kau melakukan ini.” Aku mengangkat kedua tangannya dan menyatukan jari-jarinya, sebisa mungkin membentuk love. “Lalu ucapkan ‘Jeongmal saranghae’.”
“Jeongmal saranghae.” Ucapnya malu-malu.
Aku tersenyum melihatnya.
“Thanks, Ma!” aku mengangguk. “Maaf sudah mengganggumu.”
“Santai saja.”
“Kau mau ke kampus?”
Aku mengangguk mengiyakan.
“Mau ku antar?”
“Tidak. Nanti Lia salah paham.”
Arga tergelak.
“Umm, Ma?” panggilnya hati-hati.
“Ya?”
“Boleh aku jujur?”
Aku mengangguk dengan bimbang.
“Jika terjadi apa-apa denganku, aku justru ingin laki-laki yang menggantikan posisiku adalah dia…”
“Eh? Dia? Maksudmu?”
“Egi, hehehe….”
Apa benar kau ingin begitu, Ga? Boleh tidak aku mencegah hal itu terjadi?
***

TBC

No comments:

Post a Comment