Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Friday, September 16, 2011

Mini Cerpen: Damn Love

Mini Cerpen: Damn Love
by Imah Hyun Ae

(terinspirasi dari kisah seorang teman)

Kamu mendekatiku. Pada saat aku tak tahu apa itu cinta, cemburu dan patah hati. Hingga kamu datang dan mengejarku. Kamu bahkan meluluhkanku.

Dari temanku aku tahu bahwa kamu bahagia kalau bertemu denganku. Itu membuatku merasa istimewa.

Di depan temanku, kamu memuji betapa cantik, baik, dan lembutnya aku. Meski aku tak sesempurna itu, aku perlahan merasa bahagia. Tanpa kusadari aku menanti pertemuanku denganmu. Juga berharap bisa membantumu ketika kamu kesulitan. Dan saat aku tahu kalau rasa yang kupunya untukmu ini adalah cinta, kamu menghempasku. Kamu malah memilih perempuan lain yang baru kamu kenal. Berpacaran dengannya tanpa peduli hatiku yang luka.

Kenapa kamu begitu kejam? Jika sejak awal kamu tak serius, kamu seharusnya jangan mendekati dan meluluhkan hatiku.

Kamu tahu hati hanyalah segumpal daging. Dan ketika disakiti tak akan patah atau retak, tapi banjir dengan darah. Itulah hatiku kini, kalau kamu mau tahu…

Cerpen: Tentang Dea

Terinspirasi dari kisah seorang teman, tapi malah jadi jauh begini, hehehe… Maaf ya ^^ *peace*



Tentang Dea

Oleh Imah_HyunAe

©Imah_HyunAe 2011©



Kenangan, adalah masa lalu yang selalu diingat. Lalu… apakah aku masih berani menyebutkan peristiwa pahit itu dan masih samar terkurung diingatanku sebagai kenangan? Aku tak berani mengiyakannya.

Kutatap rumah besar nan mewah di depanku. Rumah yang sejak sepuluh tahun lalu kutinggalkan. Rumah yang sudah menganggapku bukan lagi bagian di dalamnya karena aku sudah menghancurkan kepercayaan dan kebanggaan pemiliknya, papaku.

Aku menelan ludah. Mencoba atasi kegugupanku yang menjadi. Juga mengatasi dengingan yang menghujam telingaku.

“Memalukan! Bagaimana bisa kau melakukannya? Apa kau tidak punya mata?? Lelaki berperangai buruk seperti itu kau suka! Bahkan membiarkannya menghamilimu!!!”

Bayangan papa yang berteriak murka ketika mengetahui aku hamil menghujani benakku. Membuatku meremas ujung bajuku tanpa sadar.

“Dia bahkan sudah menghamili perempuan lain!!! Orang biasa seperti itu???”

Bayangan wajah murka papa kembali hadir.

“Tapi dia ayah anak ini, Pa!”

Sosokku yang membantahnya sebelas tahun lalu juga hadir.

Plak!!!

Papa menamparku. “Kau ingin dia bertanggung jawab dan membuat seluruh dunia tahu kalau putri kebanggaanku hamil diluar nikah dengan lelaki sepertinya.” Papa menggeleng keras. “Tidak! Kau pilih gugurkan, atau melahirkannya tapi pergi dari rumah ini!”

“Pa!!” aku menjerit dengan air mata berurai.

“Mulai hari ini kau bukan anakku lagi!” desis Papa dingin dan meninggalkanku yang tergugu hebat.

“Kenapa kau mengecewakan kami, Nak?” suara Mama terdengar dingin dan menghujam.

Aku ingat hari itu aku menangis berjam-jam. Setelah agak tenang, aku meminta supir mengantarkanku ke rumah Padli, lelaki yang menjadi cinta pertamaku dan membuatku kehilangan mahkota berhargaku. Dia harus bertanggung jawab.

Tapi apa yang kutemukan?

Saat aku tiba di rumahnya, aku justru melihat dirinya sedang menikah dengan perempuan yang tengah 5 bulan. Aku mendengar dari tetangga di sekitar rumahnya tentang hal itu.

Hari itu aku benar-benar hancur. Bukan saja kehilangan tatapan sayang dari orang tuaku, aku juga kehilangan orang yang kucintai, juga kehormatanku.

Kenapa aku begitu bodoh? Jatuh cinta pada lelaki seperti dia! Lelaki yang menggantungkan hidupnya pada narkoba, alkohol, dan… seks!

Air mataku menitik deras lagi kala itu. Kalau aku membiarkan nyawa yang baru berumur satu bulan di tubuhku ini hidup dan kulahirkan tanpa ayahnya, aku akan benar-benar remuk tak berbentuk. Bukan saja orang tuaku semakin malu, tapi juga diriku dan masa depanku.

Aku berniat menggugurkannya. Tapi kuurungkan ketika tahu prosesnya yang tak sengaja kulihat di youtube. Mengerikan!

Dengan terpaksa, aku menghilang dari kehidupan sekolah, keluarga, dan kota Jakarta. Papa dan Mama mengatakan pada teman-teman dan keluargaku bahwa aku dipindahsekolahkan keluar negeri. Padahal aku membesarkan kandunganku dengan kebencian yang menumpuk di sebuah desa yang terpencil.

“Lihat, Non. Putri Non cantik sekali,” kata Bi Nah sepuluh tahun lalu usai persalinanku sambil memperlihatkan bayi mungil yang baru kulahirkan. Bi Nah adalah pembantu keluarga kami yang diminta mama menjagaku selama aku hamil di desa terpencil yang jauh dari Jakarta itu.

“Buang dia!” kataku dingin tanpa melihat rupa bayi itu.

“Tapi, Non..”

“Kubilang BUANG!!!” teriakku. “Aku tak mau melihatnya!!!” pekikku.

Masih teringat jelas di benakku, Bi Nah tak membuangnya. Ia masih berkeras agar aku melihat bayi itu. Katanya aku pasti akan menyukainya seperti dia. Aku masih kokoh menolak. Sampai kepergianku ke Australia untuk melanjutkan sekolahku yang tertunda pun aku tetap tak mau melihatnya.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Baru hari ini aku berani kembali ke Jakarta. Dan berharap bisa melihat bayi itu. Ah… pasti dia sudah besar sekarang.

“Ketika kau jatuh cinta dan menikah, kau akan tahu kegelisahan yang kurasakan, Dear.” Kata sahabatku Marri yang berasal dari Yogya. Aku mengenalnya saat kami sama-sama kuliah di Sydney. Dia memprotesku yang mengeluh bosan mendengar ceritanya yang belum hamil-hamil padahal sudah 3 tahun menikah.

“Bayi adalah kado terindah dalam sebuah pernikahan,” terangnya. “Kado yang paling dinantikan. Dan pertumbuhannya menjadi rentetan kado terindah lainnya. Kau akan ingat bagaimana dia menangis, bagaimana bahagiannya dirimu ketika dia memanggilmu ‘mama’ untuk pertama kali, bagaimana dia berjalan, dan bagaimana kehadirannya membuatmu semakin kompak dengan suamimu.”

Aku ingat bagaimana cerahnya wajah Marri ketika ia membayangkannya. Membuat hariku jadi tak tenang. Selalu terbayang dengan bayi yang kubuang bertahun-tahun lalu. Sebesar apa dia sekarang? Hidup dengan baik kah? Siapa yang jadi ibunya? Adakah yang menenangkannya ketika ia menangis?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membawaku kembali ke sini. Terlebih aku tahu dengan pasti aku trauma untuk jatuh cinta. Dan siapa yang bersedia menikahiku kalau tahu aku sudah punya anak diusiaku yang baru 17 tahun dan membuangnya dengan tega?

“Non Lia?” sebuah suara menegurku.

Aku mengalihkan perhatianku pada pemilik suara tersebut. Terlihat seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan memandangku penuh haru. Wanita yang tahu kejadian sebelas tahun lalu. Kejadian di mana Papa menamparku. Yah, semua yang tahu di rumah ini dipaksa tutup mulut.

“Mbak Lastri?” sahutku.

“Non pulang!!” jeritnya senang. “Woaahhh… kenapa Nyonya tidak bilang kalau Non pulang hari ini?”

Aku tersenyum lembut padanya dan memeluknya sekilas.

“Ayo, Non, masuk!” katanya sambil mengambil koperku.

Aku terdiam sesaat. Masih ada hak kah aku masuk ke rumah ini?

“Bi Nah…” suaraku tercekat. “Apa dia ada?” tanyaku tertahan.

Mbak Lastri memandangiku, lalu menggeleng. “Bi Nah sudah berhenti kerja sepuluh tahun lalu, Non,” ujernya membuatku memandangnya penuh tanya.

“Dia tidak tega membuang bayi Non dan itu membuat nyonya marah dan mengusirnya,” jelasnya.

Napasku mendadak sesak. “Lalu… apa Mbak tahu Bi Nah di mana sekarang?”

Mbak Lastri memandangku sesaat. Lalu mengangguk lambat. “Beberapa bulan lalu Bi Nah kemari. Meminta Nyonya memberikan foto Non karena Nona kecil begitu ingin melihat wajah ibunya. Kata Bi Nah dia berdoa terus setiap hari selama dua tahunan ini untuk bertemu dan melihat wajah ibunya di mimpinya. Tapi Nyonya memarahi dan mengusirnya. Katanya sampai kapan pun Nyonya tak akan mengakui kalau itu bayi Non, cucunya. Dia lalu memberikan alamatnya pada saya dan meminta saya mengambil foto Non untuk dikirim ke alamatnya. Tapi… sampai hari ini saya tidak berani. Takut ketahuan Nyonya.”

“Bisa… Mbak Lastri memberikan alamatnya?” tanyaku dengan tatapan memohon.

“Non…” lirihnya.

“Aku…” air mataku merebak. “Aku ingin melihat putriku…” jujurku dengan suara serak menahan tangis.

Mbak Lastri memandangiku sesaat sebelum akhirnya mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian dia datang dengan secarik kertas dan menyerahkannya padaku.

“Tolong, jangan katakan apapun tentang kepulanganku pada Mama. Juga ke mana aku.” Pintaku. Mbak Lastri mengangguk.

“Semoga ketemu, Non,” katanya. Aku mengangguk. Kugenggang kertas bertuliskan alamat Bi Nah dengan dada berdebur hebat.

***

Setelah berjam-jam melewati perjalanan panjang, aku tiba di sebuah rumah yang sederhana dan kecil di tempat yang cukup tenang di daerah perbukitan. Hanya membayangkan siapa penghuni di dalamnya saja sudah membuat dadaku sesak.

Langit sudah beranjak senja.

Perlahan, aku mengetuk pintunya. Tak ada jawaban. Kuketuk sekali lagi.

Kriet…

Pintu terbuka. Sosok wanita setengah baya dengan mata sayunya memandangku terkejut.

“Non… Lia?” desisnya pelan. Wajahnya tampak kaget.

Aku mencoba tersenyum walau kutahu pasti terlihat kaku.

“Mbok… kacang panjangnya di oseng saja ya?” sebuah suara cempreng dari dalam rumah. Aku melongokan kepalaku mencari siapa pemilik suara tersebut. Putriku kah?

“Masuk Non,” kata Bi Nah sembari membantuku membawa koperku masuk.

“Mbookk…” suara cempreng itu terdengar lagi saat aku masuk ke dalam. “kacang panjangnya…” pemilik suara bertubuh kurus menghentikan ucapannya ketika matanya menemukan sosokku. “Ah, ada tamu…” katanya malu.

Bi Nah tersenyum lembut sembari melambai pada anak kecil berambut panjang yang berdiri tak jauh dari kami.

Aku mensejajarkan tubuhku dengan tubuh anak kecil itu ketika dia sudah berdiri di samping Bi Nah. Kupandangi wajahnya yang cerah dan memandang penuh tanya padaku. Perlahan kuulurkan tanganku dan mengelus pipi tirusnya dengan lembut.

Tanpa bisa kucegah, air mataku merebak. Ada banyak yang ingin kukatakan. Tapi yang bisa kuucap hanya, “Apa kabar?”

Anak kecil itu tak menjawab. Ia melirik ke Bi Nah. Aku memandang Bi Nah.

“Kudengar kau berdoa agar bisa bertemu dengan ibumu di mimpimu,” kataku. Anak kecil itu perlahan mengangguk.

“Juga ayah,” katanya pelan. “Mbok bilang Bunda meninggal saat melahirkan Dea. Sedang ayah sudah tidak ada ketika Dea masih di kandungan Bunda. Dea jadi tidak tahu bagaimana wajah mereka, sedangkan teman-teman di sekolah bilang wajah mereka ada yang mirip ayahnya, ada juga yang mirip ibunya. Dea ingin tahu Dea mirip siapa.”

Dadaku serasa nyeri sekali mendengarnya.

“Kalau kau ingin lihat…” kataku pelan dan tercekat.

“Tak boleh ada yang tahu kalau kau punya anak!!” pesan Mama sebelum aku melahirkan.

Aku menelan ludahku. “… wajah Bundamu,” aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “…kau bisa melihat wajahku.” Air mataku mengalir. “Aku… mirip sekali… dengan Bundamu,” kataku tergugu.

“…bagaimana bahagiannya dirimu ketika dia memanggilmu ‘mama’ untuk pertama kali…” kata-kata Marri terngiang lagi di telingaku. Membuat air mataku mengalir deras. Akankah ada saat di mana dia memanggilku ‘Bunda’?

Anak kecil itu memandangku. “Kakak kenal Bunda?”

Kakak? Hatiku menjerit sakit. Berusia 27 tahun dan dipanggil kakak oleh anakmu, tidakkah itu menyakitkan?

Kuanggukan kepalaku sebagai jawaban. “Sangat kenal,” bisikku. Perlahan ia mengulurkan tangan mungilnya, menyentuh wajahku. Senyum manisnya mengembang.

“Dengan ayah?” tanyanya.

Aku mengangguk lagi disertai lelehan air mata.

“Menurut Kakak, Dea mirip Bunda atau ayah?” tanyanya ceria.

Aku memandanginya. Wajah tirusnya, mata tajamnya, senyum cerianya, hidungnya, bibir tebalnya. “Kau… Mirip ayahmu,” jawabku pelan. Satu air mata bergulir lagi kala sosok yang menghancurkanku sebelas tahun lalu hadir tiba-tiba di benakku. Seolah tak cukup dengan itu, hatiku semakin sakit saat ia tersenyum gembira padaku.

“Benarkah? Dea mirip ayah?” pekiknya. Ia menggoyang-goyangkan tangan Bi Nah. “Mbok, Kakak bilang Dea mirip ayah,” katanya ceria.

Kenapa kau harus mirip dengannya, Putriku? aku tahu aku tak punya harta berharga lainnya sekarang kecuali kau. Tapi kenapa harus mirip dengannya?

Aku memandangi anak yang masih ceria itu dengan perasaan campur aduk.

Bi Nah berjongkok dan membelai rambutku. Seolah tahu bahwa aku tengah terguncang dengan kenyataan yang kuucapkan sendiri. Anakku mirip dengan ayahnya.

“Jika anak tak bisa mempersatukan orang tua, maka biarlah ia jadi pengobat luka, Non,” katanya lembut.

Dea, anak kecil itu memandang ke arahku dan Bi Nah dengan heran.

“Dea mau peluk Tante ini tidak?” tawar Bi Nah. Membuatku membulatkan mataku. “Anggap dia bundanya Dea. Boleh kan Non?”

Aku masih bingung. Namun sebuah tangan mungil tiba-tiba memeluk leherku.

“Hangat. Lebih hangat dari memeluk Mbok,” katanya masih sambil memelukku. “Apa karena Dea tahu kakak cantik mirip Bunda ya?” tanyanya polos.

Aku menggigit bibir bawahnya. Tanpa bisa kucegah air mataku mengalir lagi. “Coba panggil aku ‘Bunda’,” pintaku tanpa sadar.

“Bun..da…” katanya pelan.

Aku membalas pelukannya bersamaan dengan air mataku yang mengalir deras. “Maafkan aku…” bisikku. “Benar-benar maaf…” bisikku lagi sambil memeluknya erat dan membelai rambutnya. “Maaf…”

“Kenapa Tante minta maaf?” herannya sambil melepas pelukanku.

Aku menggeleng. “Tidak apa-apa.” Kuelus wajahnya dengan sayang. “Mulai hari ini, anggap aku Bundamu, ya?”

Mata tajamnya yang memandangku tadi kini membulat. Lalu ia kembali memelukku sembari berteriak, “BUNDAAAA!!!!” dengan ceria.

Aku membalas pelukannya. Sudah berapa fase perkembangannya yang kulewati? Aku tak mau melewatkannya lagi.

Kutatap Bi Nah. “Boleh aku di sini?”

Bi Nah mengangguk dengan wajah haru. “Silahkan, Non,” katanya sambil mengusap air matanya yang jatuh.

“Terima kasih, Bi,” bisikku. Terima kasih sudah membolehkanku dan sudah menjaga Dea dengan baik selama ini. Benar-benar terima kasih, Bi, lanjutku dalam hati seraya mengulurkan tanganku mengajaknya berpelukan bersama.

End

Saturday, February 5, 2011

Perjodohanku, Kebahagianku

Perjodohanku, Kebahagianku
Oleh Imah_HyunAe

“Selama ini aku selalu ada di sekitarmu, hanya kau yang tak menyadari kehadiranku.” Saat itu aku akan tertunduk dan tersenyum malu. Lalu lelaki itu melanjutkan lagi, “Aku tahu kau tak mau pacaran, dan itu semakin meyakinkanku kalau tak salah jika kau jatuh hati padamu. Jadi, maukah aku jadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku?” dan aku mengangguk.
Ah, khayalan yang indah, bukan? Aku tersenyum. Andai kenyataan nanti seindah itu…
Aku membuang napas panjang. Mengusir kegundahanku tentang siapa dan di mana belahan jiwaku. Aku… harus konsentrasi pada skripsiku.
**
“Apa kabar, As?”

Ragu-ragu aku mendongak..
>cut>

selengkapx ad d Cantik, I'm Coming!! Di www.nulisbuku.com

Thursday, February 3, 2011

cerpen Aika: Dibatasku

Aika: Di Batasku
oleh Imah_HyunAe

Aika meringis kesakitan di depan komputernya yang menampilkan microsoft word. Di gigitnya bibir bawahnya demi menahan sakit. Ia memang sudah sering mengalaminya setahun terakhir namun ia pikir ia hanya kelelahan saja akibat terlalu sering dan lama mengetik. Sayangnya kenyataan berkata lain. Setelah ia menggigil hebat dan tak sadarkan diri, orang tuanya membawanya ke rumah sakit. Dokter umum di sana meminta mereka menemui dokter spesialis.

Dunia serasa gelap saat vonis itu ia dengar. Osteosarcoma, jenis kanker tulang paling ganas, ada di tubuhnya. Sumber awalnya ada di lengan dan kini sudah menyebar ke bagian tubuhnya yang lain.

Dengan susah payah ia membuka laci mejanya. Mengeluarkan obat penghilang rasa sakit dan meminumnya. Napas lelahnya terdengar. Cukup lama ia meremas lengannya, menahan gigil yang menusuk, hingga akhirnya sakit yang disertai rasa ngilu itu menghilang. Ia menghela napas panjang. Lantas melanjutkan kegiatannya, menulis.

Benar. Ia seorang calon penulis besar, setidaknya itu yang selalu ia yakinkan pada dirinya meski karya tak satupun menembus media cetak apalagi penerbit.

Ia memilih menerbitkan karyanya di blog pribadinya. Berharap pengunjungnya makin banyak dan penerbit ada yang melirik karyanya sehingga bisa dibukukan. Sayangnya hingga kini hal itu tak terjadi.

Pandangannya mengabur. Telaga kesedihan menggantung di matanya. Ia tahu harapannya agar karyanya menghasilkan uang tak akan terwujud. Apalagi dengan kondisinya yang sekarang. Kemungkinan terbesar, blognya hanya akan jadi kenangan. Dan harapannya agar dapat membantu ekonomi keluarganya yang sering naik-turun tetap menggantung di angkasa.

Airmatanya luruh. Tangannya kini tak mampu menari leluasa di atas keyboard. Ia tak akan bisa lagi menulis apa yang berputar-putar di pikirannya.

Ia tergugu kini, dengan kepala jatuh mengenai keyboard. Sudah 1 bulan, dan ia tidak berhasil menerbitkan satu tulisan pun di blognya! Ia benci keadaan ini! Benci dengan harapannya yang kini semakin buram. Ia marah! Kenapa penyakit itu ada padanya dan mengubur harapan terbesarnya?!!

Ia mematikan komputernya dengan penuh emosi. Lalu membenamkan kepalanya pada bantal. Menangis sejadi-jadinya di sana.
***

Lama, Aika menatap komputernya.
Sudah berapa lama ia tak kunjungi blognya? Sudah berapa lama ia tak menulis?

Senyum pedih terukir di wajahnya saat batinnya menjawab, 5 bulan. Ada sesak menyeruak di dadanya.

Pelan, ia membuka blognya. Melihat kunjungan yang masih di bawah 50 perhari ia tersenyum tipis. Ia lalu mengklik menu ‘Tulisan Baru’ dan mulai menekan satu-satu huruf di sana.

===
Di Batasku

Aku genggam asa
Lalu jatuh karenanya

Ringisku tak ia dengar
Lelah ku tahan getir
Tak jua ia peluk aku dengan gemintang

Peluhku bak rinai hujan
Namun ia anggap itu genangan tak bertuan

Letih…
Kupilih menghilang,
Walau harap itu tampilkan riak rindu!
Walau ku tahu ia tak akan tidur!
Karena aku sudah di batasku…
===

Aika tersenyum getir. Dikliknya ‘terbitkan’ dan air matanya mengalir bagai banjir bandang.

TAMAT

cerpen Curahan Hatinya

Curahan Hatinya
oleh Imah_HyunAe

Bagas menatap layar di depannya yang memperlihatkan blog pribadi rahasia milik kekasih tercintanya, Arin. Dibilang ‘rahasia’ karena isi blog itu hanya diketahui oleh si pemilik saja. Dan sejak 3 hari lalu Bagas boleh mengetahuinya, karena seminggu lalu ia dan Arin resmi menjadi suami istri dengan si adik sebagai walinya. Ayah Arin meninggal 3 tahun lalu setelah sakit struk selama hampir 3 tahun.

Bagas membaca satu per satu isi blog tersebut yang diberi judul Diaryku.

Seketika senyum Bagas merekah. Rupanya Arin menumpahkan semua perasaannya di sana dengan gaya bercerita yang unik. Seolah-olah khusus dipersembahkan untuk ‘suami’ Arin. Dan Bagaslah orangnya.
Bagian yang membuatnya tersanjung adalah saat istrinya menulis,

“My Half, kamu di mana? Kapan kita akan bertemu? Kapan kamu akan melamarku? Apakah kamu sekarang sedang memikirkanku?”
yang ditulis 7 tahun lalu.

Cerita berlanjut soal kuliah, juga kecemasan Arin yang takut jadi perawan tua karena memilih lulus kuliah baru berpacaran daripada pacaran sambil kuliah.

Senyum di wajah Bagas sirna saat ia membaca ‘Diary 121′ yang ditulis 3 tahun lalu.

Isinya…

“Hai, My Half, suamiku. Hari ini, boleh aku curhat padamu. Hatiku sakit. Mataku menangis pilu. Kamu tahu kenapa? Karena untuk kesekian kalinya aku mendengar omelan ibu yang berupa keluhan. Ia bilang dengan nada emosi ‘sudah bosan! Tak ada yang mengerti! Semua tunggul! Suami harusnya mengerjakan yang dikerjakan suami! Bukan aku!! Waktu sehat tak pernah jaga kesehatan. Sudah sakit, merepotkan orang, baru ingin sehat!’

dan keluhan lainnya tentang uang. Kamu tahu kan, ayahku terkena struk 2.5 tahun yg lalu, dan belum sembuh. Aku sebenarnya ingin menjawab, ‘seandainya bisa memilih, ayah tentu tidak ingin sakit. Bukan membelanya. Ibu yang tidak bisa terima takdir. Aku tahu lelah ibu. Kebosanan ibu! Seandainya aku sudah bekerja, aku kaya, aku pasti menggaji pembantu tuk kurangi lelahmu! Sayangnya aku masih kuliah, Bu. Jadi masih belum bisa mengurangi bebanmu dan wujudkan impianmu!
Tulisan yang kuharap bisa menghasilkan uang, juga cuma harapan! Aku sudah berdoa, berusaha. Sampai sakit hati sendiri karena gagal yang kuterima. Jadi berhentilah mengeluh, Bu. Tanpa perlu ibu keluhkan aku sudah mengerti…’

Sayangnya kalimat itu kutelan bulat-bulat di tenggorokanku.

Terima kasih kamu mau mendengarkanku. Ini sedikit kurangi sesak di dadaku.”

Bagas berlanjut ke ‘Diary 122′. Isinya menyentak hatinya.

“Hari ini ayah meninggal. Aku marah pada ibu. Ya, karena mungkin ayah memilih meninggalkan dunia sebab lelah dengarkan omelan ibu.

Ibu diam.

Setelah emosiku mereda, aku menegurnya. Meminta maaf. Tapi ibu tak menjawabku. My Half, harus bagaimana aku?”
ditulis 3 tahun lalu, 2 bulan setelah Diary 121 tadi.

Bagas menoleh ke istrinya yang sedang asyik merapikan alat-alat dapur. Cari di diary atau tanya langsung? Bimbangnya. Dan akhirnya, “apa ibu sudah memaafkanmu?” tanyanya langsung.

Arin menoleh dengan raut bingung.

“di diarymu tertulis…”

“oh…” potong Arin. Ia tersenyum. “Sudah. Lebaran tahun lalu. Jika tidak, ia mungkin tak hadiri pernikahan kita.”

Bagas membuang napas dan tersenyum lega. Ia lantas melanjutkan ke Diary 123…

TAMAT

Sunday, January 23, 2011

Cerpen 'Skies of Love' oleh Syahidah Amaniya

Ini tulisan Mbak Syahidah (salah satu admin dari HSWC-Heart and Soul Writing Community).
Saya yang kasih
paragraf pembuka:
Mata biru itu menatapku tajam. Menusuk hingga ke palung hati. Nyeri sampai menggigit tulang. Membekukan aliran darahku yang semula lancar. "Apa salahku?" aku bertanya dengan napas tercekat.

Dan penutupnya:
Alex mendorong kursi rodaku. Ia baru berhenti saat memasuki rumah kaca yang membuatku terpana. Ada banyak bunga krisan putih, kuning, dan merah, di sana. Bunga kesukaanku. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum manis dan berkata lembut, "Hadiah untukmu, My Princess. Selamat datang kembali."

So, dibuat Mbak Syahidah jadi sebuah cerpen yang menyentuh hati Saya. Saya jadi pengen punya suami kayak Alex, pengertian anget T_T

Udah deh, met baca aja ^^
=================================================================

Skies of Love

Mata biru itu menatapku tajam. Menusuk hingga ke palung hati. Nyeri sampai menggigit tulang. Membekukan aliran darahku yang semula lancar. "Apa salahku?" aku bertanya dengan napas tercekat.
“Tidak ada.” Jawab Alex, si pemilik mata biru itu. Suaranya nyaris sedingin es di puncak Andermatt. “Hanya saja sepertinya kau lebih mencintai langit biru, tebing-tebing dan puncak-puncak gunung yang kau daki selama ini. I’m nothing for you.”
Oh, I hate it.
Bahuku seketika merosot membuat The North Face biru yang sedari tadi bertengger di sana terbanting jatuh ke lantai. Untung aku masih cukup waras untuk tidak menjatuhkan tas slempang berisi kamera Nikon D3x, Nexus dan Seacams housings yang tersampir di bahuku yang lain.
“Itu tidak benar, Al. Aku tidak terima. Kau terlalu berlebihan.” Sergahku cepat. Buru-buru aku meletakkan properti fotografiku di rak buku terdekat.
“Berlebihan?” Kilatan mata biru Alex kini terasa menampar wajahku. “Berapa kali kau ada untukku dalam tiga bulan ini, huh? Kau bilang tak punya waktu untuk menemaniku membeli kado ulang tahun Mom, tapi anehnya, kau selalu punya waktu untuk ekspedisi ke Himalaya, Yosemite, Mont Blanc dan entah apalagi. Apakah menurutmu aku berlebihan?”
“Oh, Honey. Please. Aku tidak ingin bertengkar soal itu lagi.” Sepasang mataku memandang Alex dengan tatapan memohon. Lagi-lagi urusan pekerjaan membuatku terpaksa bersitegang dengan pria terkasih ini.
“Jujur, aku tidak ingin bertengkar denganmu, Aud.” Alex bangkit dari sofa setelah melemparkan New York Times-nya ke atas meja. “Selama tiga bulan terakhir ini aku benar-benar kehilangan Audrey-ku.”
Kepalaku menggeleng cepat.
“I’m yours, Al. Akan seperti itu selamanya.”
“Tidak.” Alex berpaling, enggan menatapku. “Jangan bercanda. Bukankah selama ini aku hanya memilikimu dalam web cam laptop atau layar BlackBerry? Kau jauh lebih sibuk daripada Annie Leibovitz.”
“ALEX!” kutarik paksa lengan Alex, mencegahnya berlalu dari hadapanku. “Tolong berhenti menyudutkan aku. Kau ...”
“What?” Alex menarik tangannya sengit. “Kau mau bilang aku tidak memahami kehidupanmu?”
“Itu kenyataan.”
“Lucu. Coba ingat baik-baik, Aud. Pernahkah aku protes saat kau lebih memilih pergi ke Kilimanjaro di hari wisuda pasca sarjana-ku? Apakah aku melarang saat kau ingin ikut serta dalam ekspedisi ke Karakoram di hari pertamaku masuk kerja? Ingat, aku bahkan tidak keberatan ketika kau lebih menginginkan bulan madu di Alpen daripada mengikuti saranku pergi ke Maldives. Tell me. Bagian mana yang tidak kupahami soal kehidupanmu?”
Mataku benar-benar basah sekarang. Selama dua puluh tahun kami bersahabat sebelum akhirnya menikah, tidak pernah sekalipun kulihat Alex semarah itu. Seperti ada ribuan jarum menusuki dadaku. Benarkah ini Alex yang kunikahi enam bulan lalu? Alex yang kalem dan tidak banyak tingkah. Alex yang lebih suka merawat taman bunga di waktu luangnya. Alex yang selalu tersipu saat kutatap mata birunya. Pria inikah?
“I’m sorry, Aud.” Tegasnya. “Ini sama sekali bukan kehidupan yang ingin kujalani bersamamu.”
Kulihat Alex menyambar jaketnya dari gantungan di belakang pintu. Tangisan yang sedari tadi kutahan mati-matian pecah bersamaan dengan gerakan tangan Alex yang memutar handel pintu. Dan sejak kapan travel bag Alex terserak di dekat pintu?
God! Jangan biarkan itu terjadi!
“Alex! No.” Seperti kesetanan aku berlari ke pintu dan memeluk tubuh tegap Alex dari belakang. “Alex, jangan pergi. Please don’t leave me, Sweetheart.”
Alex membeku sesaat hingga aku bisa mendengar suara degup jantung dari balik punggungnya. Aku menangis antara kesal dan tidak siap kehilangan Alex. Tidak. Selain karena kematian, kurasa aku tidak akan pernah siap kehilangan dia. Kehilangan Alex berarti aku kehilangan separuh jiwa yang selama ini selalu menjadikanku utuh.
“Alex? Alex, please say something.” Aku tersendat sambil membenamkan kepala di bahunya.
Alex mencengkram ambang pintu kuat-kuat. Dia menghela nafas panjang beberapa kali sebelum akhirnya berkata lirih, “Sekali ini saja, maukah kau melakukan sesuatu untukku, Aud?”
“Ya. I will.” Aku mempererat pelukanku di pinggang Alex.
“Aku ingin kau berhenti dari pekerjaanmu.” Sahut Alex.
Huh?
Aku terkesiap dalam posisi masih memeluk Alex. Apa katanya tadi? Dia ingin aku meninggalkan karir fotografiku di Adventure Magazine? Ya ampun. Padahal aku memerlukan rekomendasi redaksi majalah itu untuk mewujudkan cita-citaku menjadi fotografer National Geographic.
“Are you serious, Hon?” Aku menarik kepalaku dari bahu Alex.
“Kau mau?” Alex balik bertanya.
Tuhan, ini keputusan sulit. Bagaimana jika aku menginginkan kedua-duanya? Aku ingin Alex selalu bersamaku tapi aku juga tak ingin kehilangan pekerjaanku. Tidak setelah aku menjelajahi hampir separuh dunia untuk demi mendapatkan foto-foto nominasi Pullitzer.
“Audrey?” suara Alex terdengar tidak sabar. “I need your answer.”
Kurapatkan tubuhku pada punggung Alex, berusaha menghimpun kekuatan untuk menjawab pertanyaannya.
“Tolong beri aku waktu tiga bulan, Al.” Ujarku susah payah. “Setidaknya kau harus menunggu sampai kontrak kerjaku berakhir.”
Alex tertawa sinis. Dia melepaskan tanganku dari pinggangnya.
“Kau tidak ingat? Aku telah memberimu waktu bertahun-tahun, Aud.” Cecarnya. “Aku tidak ingin menunggu tiga bulan lagi untuk mendapatkan kehidupan normal itu. Kau yang memutuskan, bukan aku.”
Kemudian segala sesuatunya terjadi begitu cepat. Alex menyambar travel bag-nya dari ambang pintu. Tanpa berkata sepatah pun, dia melesat ke garasi dan pergi begitu saja membawa semua kesal dan kecewa di mata birunya.

***

Tebing Shawangunks, 1,5 kilometer dari NYC.
Aku membidikkan kamera Mamiya 365 berlensa 33 mm ke arah Wallkill River Valley dan Mid Hudson Valley di kejauhan. Seutas tali kernmantel dinamis berwarna ungu terhubung pada screw gate carabiner di harness-ku. Memotret dari ketinggian seperti ini sudah sering kujalani. Aku sudah terbiasa melakukannya sejak Dad membawaku hiking ke Yosemite di usia lima belas. Sejak itu, aku jatuh cinta pada alam bebas. Aku selalu terpesona menyaksikan langit biru di musim panas dan matahari terbenam di musim gugur. Di ulang tahunku yang kedelapan belas, Alex memberiku sebuah kamera Olympus yang menjadi cikal bakal karirku di dunia fotografi.
Alex yang manis. Dia rela menguras habis tabungannya demi membelikanku kamera itu. Aku tak bisa berhenti tersenyum saat itu karena bahagia luar biasa.
“Supaya kau bisa menyimpan langit biru dan matahari terbenam itu.” Kata Alex saat menyelipkan kamera itu dalam genggamanku.
Kalau aku harus memilih dua laki-laki yang paling kucintai di dunia ini, maka aku pasti tanpa ragu memilih Dad dan Alexander Vahradian, my sweet Alex. Selamanya.
“You okay up there, Hepburn?” suara keras Joacquin, co-photographer-ku, menyadarkanku dari lamunan.
“I’m okay, JoJo.” Sahutku sambil menjepretkan kamera untuk terakhir kali. “Oke, aku turun.”
Joacquin tersenyum lebar melihatku melorot turun dari ketinggian tebing Shawangunks. Segera setelah kakiku menjejak tanah, kulepas helm Petzl kuning dari kepalaku dan memutar kunci screw gate carabiner yang menghubungkan tubuhku dengan tali pengaman.
“Got your Pullitzer, huh?” candanya.
Aku mengedikkan bahu.
“Ini. Lihat saja sendiri.” Kuangsurkan Mamiya 365 yang sedari tadi terkalung dalam tas khusus kamera di leherku pada Joacquin. “Moodku sedang jelek hari ini.”
Aku tidak bohong. Setelah pertengkaranku dengan Alex semalam, segala sesuatu di depanku tampak seperti potret hitam putih tak bernyawa. Aku tidak tahu dimana Alex saat ini. BlackBerry-nya dimatikan sejak semalam, Aku bolak-balik menelpon ke rumah orang tuanya, tetapi selalu ibunya yang menjawab, mengatakan Alex tak ada di rumahnya. Sekretaris di kantornya mengatakan Alex mengambil cuti seminggu.
Where are you, Sweetie?
“Well, foto-foto ini terlihat dramatis.” Joacquin sibuk mengamati LCD kameraku selama beberapa saat. “Tidak seperti kebanyakan foto-fotomu yang liar dan bebas.”
“Sudah kubilang mood-ku sedang jelek hari ini.” Cetusku sambil menempelkan ponselku ke telinga. Mencoba menelpon Alex untuk kesekian kalinya. Gagal. BlackBerry-nya masih tidak berfungsi.
“Kau tak perlu jadi galak begitu, Hepburn.” Joacquin menertawai tampangku yang kesal. “Tenang saja. Dengan sedikit efek computer, kesan dramatis ini bisa dihilangkan.”
“Aku tidak mau.” Sahutku cepat. “Aku ingin foto natural tanpa efek computer apa pun itu. Baiklah, aku akan memanjat ke atas sekali lagi.”
“Hepburn, kau sudah berada di atas sana sepanjang hari.” Joacquin buru-buru mencekal bahuku. “Percayalah. Foto-fotomu sangat bagus.”
“Tolong berhenti memanggilku Hepburn. Namaku Audrey Vahradian.” Kataku sengit. Kurebut kamera di tangan Joacquin dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Tanpa memedulikan sinar protes di matanya, kuselipkan simpul figure of eightke carabiner lalu menguncinya.
“Lihat, kru lapangan telah melepaskan seluruh pengaman sisip dari dinding tebing.” Joacquin menunjuk ke arah tebing yang menjulang setinggi lima puluh meter di depan kami. “Sudah hampir waktu makan siang. Kau bahkan tidak sempat sarapan tadi.”
“Sebentar saja.” Aku berkeras lalu mulai menggantungkan serangkaian pengaman sisip dan runner pada harness. “Tenanglah. Aku sudah terbiasa memasang pengaman sisip. Lagipula aku tidak bermaksud memanjat sampai ke puncak tebing. Tapi aku memerlukanmu untuk jadi belayer.”
“Audrey, jangan memanjat bila mood-mu sedang tidak bagus.” Joacquin menatapku sangsi. “Aku bisa membawamu kemari lagi besok.”
Aku mengangkat bahu.
“Siapa yang bisa menjamin cuaca akan secerah ini besok? Kau?” Aku melempar sebuah harness ke tangan Joacquin. “Ini bukan masalah mood, Joacquin. Ini masalah fotoku. Profesionalitasku.”
Joacquin memakai harness-nya setengah hati. Perdebatan seperti ini sering terjadi antara aku dan Joacquin. Sebagai senior, aku selalu berhasil memenangkan perdebatan semacam itu. Juga kali ini.
“Oke, jangan memanjat lebih dari lima belas meter.” Joacquin mengacungkan telunjuknya padaku.
“Tidak bisa. Setidaknya aku harus memanjat setinggi dua puluh meter.”
“Lima belas. Atau kau terpaksa memanjat tanpa belayer.” Tandas Joacquin, enggan memberiku pilihan.
Setelah tawar menawar disepakati, aku mulai memanjat naik tanpa kesulitan berarti. Tebing Shawangunks sudah seperti playground bagiku. Aku cukup sering memanjat tebing ini bersama Dad dulu. Aku juga pernah satu kali mengajak Alex ke tempat ini, tetapi dia trauma datang kemari setelah menyaksikan aku jatuh menghantam permukaan tebing sejauh dua setengah meter. Aku tidak terluka serius tapi Alex sangat shock setiap kali mengingat kejadian itu.
“Ya, Tuhan. Kau tidak apa-apa, Aud? Kau nyaris membuatku terkena serangan jantung.” Katanya cemas dengan wajah sepucat lilin.
Mengingat Alex membuat mataku basah seketika. Benarkah aku telah sedemikian egois padanya? Tiba-tiba rasa sakit yang amat sangat menghantam ulu hatiku. Seperti inikah yang dirasakan Alex saat aku meninggalkannya berhari-hari? Sangat pedih dan nyeri.
Alex, kau dimana, Sayang?
Aku berhenti memanjat setiap kali mencapai ketinggian dua meter, memasang pengaman lalu kembali memanjat, sedapat mungkin menjauhkan bayangan Alex dari pikiranku. Terus dan terus hingga aku mencapai ketinggian sepuluh meter. Aku baru saja akan memasang pengaman pengaman kesekian ketika rasa sakit hebat menguasai tubuhku.
Ada apa ini? Pengaman sisip yang kupegang jatuh terbanting ke tanah di bawahku. Pandangan mataku tiba-tiba memburam dan berangsur-angsur berubah menjadi hitam pekat. Aku tak bisa melihat apa pun. Sebelum jatuh pingsan, aku merasakan tubuhku melayang sesaat lalu dunia di sekitarku hanyalah gelap dan sunyi.

***
Lennox Hill Hospital
Menjelang senja.
Aku tersadar di pembaringan rumah sakit dengan seluruh tubuh nyeri, terutama bagian perut dan kaki kananku. Sambil mengernyit menahan nyeri, aku memaksa kedua mataku untuk terbuka sepenuhnya. Hal pertama yang kulihat adalah sepasang mata biru yang menatapku cemas sekaligus penuh rasa syukur.
“Audrey? It’s me, Sunshine.”
“Alex?” Mataku melebar tak percaya. “Is it … is it … really you?”
Alex mengangguk dengan mata penuh air.
“I’m sorry.” Dia tergugu sambil menggenggam tanganku seerat yang dia bisa lakukan. “Mestinya aku tak meninggalkanmu malam itu, Honey. Aku kembali ke rumah siang ini dan mendapati pesan Joacquin di answering machine. Katanya kau jatuh pingsan di Shawangunks. Aku benar-benar menyesal meninggalkanmu. Aku tak akan bisa memaafkan diriku bila … bila …”
“Ssshhh.” Kutarik Alex mendekat hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti. “Itu bukan salahmu, Al.”
Alex menggeleng sambil mengusap wajahku yang dibasahi air mata.
“Aku yang salah.” Tegasku setelah berhasil mengingat apa yang terjadi. “Aku mengalami kram perut dan … alright, kurasa radang lambungku kambuh. Aku … aku sangat sedih kau pergi malam itu. Kau tahu, kalau aku sedih aku tidak berselera makan. But, it’s not your mistake anyway.”
Alex membungkuk dan mencium keningku yang terbalut perban.
“You’ll be okay.” Katanya lembut. “Selain kaki kananmu yang patah dan radang lambung itu, dokter bilang kau baik-baik saja.”
Selama beberapa menit selanjutnya aku dan Alex hanya saling berpandangan dalam keheningan. Kubiarkan detik-detik berlalu dengan menatapi kerlip bintang di mata biru pria terkasihku itu, merasakan pancaran hangatnya yang menjalari hatiku. Baru kusadari, sudah lama aku tidak menatap Alex seintens ini. Aku bahkan lupa bila aku selalu jatuh hati setiap kali menatap matanya. Sepanjang karirku, aku telah melihat langit malam dan bintang di berbagai belahan bumi, namun tak ada langit yang sebiru dan secemerlang mata Alex yang menatapku penuh kasih.
“Sebenarnya kau kemana semalam?” aku tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku setelah hampir sehari penuh kehilangan Alex.
“Di terminal bus.” Alex mengembangkan seulas senyuman. “Tadinya aku berniat pulang ke New Jersey, tapi pada akhirnya yang kulakukan hanya duduk semalaman memandangi bus yang datang dan pergi.”
“Maafkan aku, Al …” Airmataku kembali menganak sungai di pipi. Rasa bersalah membanjiri hatiku tatkala membayangkan Alex duduk semalam suntuk di terminal dengan hati remuk redam akibat keegoisanku. “Aku tak menginginkan petualangan lagi setelah ini.”
Alex mengernyit.
“Kau yakin?” dia menyelidik ke dalam mataku.
“Ya.” Aku mengangguk. “Karena petualanganku yang sesungguhnya adalah bersamamu menjalani kehidupan ini. Sampai aku tua nanti. Aku ingin terbangun di pagi hari di sampingmu, berdansa di dapur bersamamu, dan, hei … sudah berapa lama aku tidak menengok rumah kaca di halaman belakang?”
“Lama sekali.” Alex tertawa. “Kurasa bunga-bunga itu merindukanmu, Sweetheart.”
“Benarkah?”
“Kau dulu selalu memotret mereka setiap pagi dan petang. Ingat?” Alex mencium keningku sekali lagi. Kali ini lebih lembut. “Istirahatlah. Kita akan bicara lagi besok. Hm?”

***
Lima hari selanjutnya benar-benar menjadi milikku dan Alex. Dia menemaniku sepanjang hari di rumah sakit, membacakan buku untukku dan membawaku berkeliling taman rumah sakit dengan kursi roda. Aku belum pernah merasa sebahagia itu sebelumnya. Saat aku tertawa, Alex akan ikut tertawa bersamaku, membuatku merasa seperti wanita tercantik di dunia.
Tepat di hari keenam, aku diijinkan pulang. Alex diam-diam menyembunyikan sesuatu dariku. Sepanjang perjalanan pulang dia hanya tersenyum misterius sambil sesekali mengedipkan matanya ke arahku.
“Apa kau menyembunyikan sesuatu, Al?” aku menggamit lengan Alex saat mobil kami bergerak memasuki halaman.
“Menurutmu bagaimana?” Dia menyimpan senyum.
“Menurutku kau sedang membuatku sesak nafas.” Sahutku setengah mengomel karena terlalu penasaran.
Di luar dugaanku, Alex tergelak. Senang melihatku penasaran setengah mati. Segera setelah mobil kami berhenti di depan garasi, dia mematikan mesin mobil dan turun lebih dulu untuk mengeluarkan kursi rodaku dari bagasi.
“Sejak kapan kau suka menyimpan rahasia seperti ini, Al?” Gumamku gemas saat Alex menggendongku menuju kursi roda.
“Sejak kau memutuskan untuk bertualang bersamaku.” Alex menghadiahiku senyum malaikatnya. “Oke, kau siap memulai petualangan denganku, Aud?”
“Why not?” Balasku juga sambil tersenyum.
Alex mendorong kursi rodaku. Ia baru berhenti saat memasuki rumah kaca yang membuatku terpana. Ada banyak bunga krisan putih, kuning, dan merah, di sana. Bunga kesukaanku. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum manis dan berkata lembut, "Hadiah untukmu, My Princess. Selamat datang kembali."

Balikpapan
January 23rd, 2011
Syahidah Amaniya
===============================================================

Give your comment ^^

Friday, January 7, 2011

FF Lomba Perjodohan

Perjodohanku
By Imah_HyunAe



Berumur 22 tahun dan berada di semester terakhir pada perkuliahanku, fokusku tak hanya pada skripsi, tapi juga pada ‘calon suami’. Orang tua sudah memberi kebebasan padaku untuk memilih siapa lelaki yang kurasa cocok denganku. Aku tersenyum. Teringat bagaimana mereka melarangku pacaran dulu sebelum sekolahku selesai. Aku mengerti kekhawatiran mereka. Anak perempuan terlalu rawan jika pacaran saat sekolah. Takut merusak nama baik juga. Karena mengerti itulah hingga saat ini aku tak pernah mengenal yang namanya pacaran.
Lalu sekarang, saat restu sudah di tangan, aku kebingungan. Aku yang terbiasa menyukai dan memendamnya di hati, bisakah menemukan pasangan? Adakah laki-laki yang akan melamarku untuk menjadi istrinya padahal selama ini banyak yang mengenalku menutup hati pada mereka?
Hatiku menjerit. Aku terpenjara pada perlindungan yang kubangun sendiri.
Aku mendesah panjang. Khayalan tentang pertemuanku dengan jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku, kembali hadir di benakku.
Benar. Aku selalu berkhayal, suatu hari seorang laki-laki dengan akhlak yang baik, dengan segala kebaikan ada padanya, datang melamarku. Mengatakan bahwa, “Selama ini aku selalu ada di sekitarmu, hanya kau yang tak menyadari kehadiranku.” Saat itu aku akan tertunduk dan tersenyum malu. Lalu lelaki itu melanjutkan lagi, “Aku tahu kau tak mau pacaran, dan itu semakin meyakinkanku kalau tak salah jika kau jatuh hati padamu. Jadi, maukah aku jadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku?” dan aku mengangguk.
Ah, khayalan yang indah, bukan? Aku tersenyum. Andai kenyataan nanti seindah itu…
***

Empat tahun berlalu. Bosan menunggu, ibu dan ayah memintaku menerima pilihan mereka. Benar. Mereka menjodohkanku dengan seseorang yang mereka rasa cocok untukku. Aku tak menolak, karena aku juga sudah lelah menunggu.
Suatu ketika, pagi yang tenang. Ketukan pintu terdengar.
“Itu mereka!” kata ibu ceria.
“Siapa, Bu?”
“Calonmu.” Kata ibu, lalu keluar. Aku bergeming di tempatku. Gelisah. Juga cemas dan takut.
Kudengar pembicaraan mereka yang hangat. Kegelisahanku makin menjadi. Siapa calonku? Akankah aku menyukainya?
“Astri! Buatkan minum, Nak!” pinta ibu dari luar. Ketegangan menyergapku.
Beberapa menit kemudian aku keluar dengan nampan berisi minuman dingin dan cemilan di tanganku. Jantungku jelas berdetak tak beraturan. Aku tak berani menatap siapa tamuku itu. Terlalu takut.
“Apa kabar, As?” teguran dari suara renyah seorang laki-laki membuatku tertegun.
“Kamu masih seperti dulu. Selalu enggan memandangku.” Sambung suara itu lagi.
Ayah, ibu dan dua orang lainnya tertawa pelan.
Apa dia mengenalku? Apa aku mengenalnya?
Ragu-ragu aku mendongak. “Hanif?” suaraku tercekat. Hanif adalah orang yang pernah kusukai saat SMA dulu. Orang yang enggan kutatap karena tak ingin dia tahu aku menyukainya.
Hanif tersenyum. Deburan halus yang lama hilang, hadir kembali. Aku tak mampu mengendalikan perasaanku. Sama seperti SMA dulu.
Entah apa yang dibicarakan oleh para orang tua, tiba-tiba saja ibu menyenggolku.
“Jadi bagaimana?” tanya ibu.
“Eh?” aku kebingungan.
“Hanif, kamu saja yang tanya?” kata ayahku.
Hanif berdehem. “Aku tahu prinsipmu yang tak mau pacaran. Itu semakin meyakinkanku kalau aku tak salah jika sampai saat ini jatuh hati padamu. Jadi, maukah aku jadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku?”
Sampai saat ini, katanya. Jadi, dia sudah menyukaiku sejak lama? Debur di dadaku makin nyata.
Perlahan aku mengangguk.

Sunday, December 19, 2010

Cerpen Cita-citaku

Terinspirasi oleh anak kecil di pasar
===

Cita-citaku

Kawan, aku sengaja berbagi kisahku padamu meski aku tahu banyak anak yang bernasib sama denganku. Aku terlahir di daerah perkotaan. Menghabiskan masa kecil dan remajaku di pasar, karena di sanalah orang tuaku berdagang ikan untuk hidup kami. Bahkan hingga sekarang.

Aku sekarang sudah lulus SMA dan bekerja jadi pelayan toko untuk tambahan keuangan kami. Sebuah keberuntungan memang karena sempat mencicipi 12 tahun sekolah. Tapi juga sekaligus kesedihan karena tak mencicipi bangku kuliah. Padahal aku sempat berkeinginan jadi nahkoda kapal. Melintasi lautan yang biru. Mengunjungi berbagai pulau. Kalau bisa mengunjungi luar negeri.

Kalian tahu cartun One Peace. Ah... Kawan, sungguh menyenangkan jadi mereka bukan? Dan merekalah yang menginspirasi cita-citaku. Memang terdengar lucu. Tapi itulah kenyataannya kawan.

Tapi, kalau aku sukses, bukankah aku masih bisa melintasi lautan? Kawan, doakanlah aku agar aku punya toko sendiri dan laku. ^^