Sunday, January 30, 2011

Aku Takut

Aku Takut
oleh Imah_HyunAe


Aku takut
Aku tak mampu temukan dirimu
Tak tahu di mana kamu
Tak bisa sentuh kamu
Tak bisa bahagia jika tak sama kamu

Aku takut dengan takutku
Juga cemas...
Juga bertanya-tanya,

Di mana kamu?
Apa kabarmu?
Sedang apa dirimu?
Adakah kamu pikirkan aku?

Tolong jawab aku...
Juga tunjukan dirimu
Temui aku
Sebab kutakut,
Napasku kan terhenti
jika tak bersamamu...

Thursday, January 27, 2011

FF The Fight

The Fight 2
oleh Imah_HyunAe


Entah sudah berapa kali Shin Hye tak sadarkan diri. Gigil di tubuhnya ditambah hawa esnya pengikat yang ikat tangannya memang tak bisa ia bendung. Bibirnya membiru. Ada rintih tertahan terdengar sebelum beberapa detik kemudian ia kembali menutup matanya. Pingsan!

"Sudah kuduga kau berhasil, Panglima Jang." kata seorang pria bermata sipit yang sama sekali tak terlihat memiliki jiwa jahat jika dilihat dari wajahnya yang jenaka. Para tawanan yang terikat di pilar-pilar penghisap kekuatan menoleh serentak. Memastikan bahwa yang di bawa namja bermata tajam di depan mereka itu benar-benar Pelindung Istana. Tepatnya pelindung seluruh rasi bintang.

Panglima Jang, alias Jang Geun Seok menyeringai sinis. Ia memang membawa Shin Hye ke area sisi gelap bulan. Tempat semua tawanan di tahan. "Ini mudah," ujernya bangga sambil menarik rambut Shin Hye agar wajah yeoja itu menengadah keatas.

Si pemilik wajah jenaka mendekat sambil memandangi Shin Hye. Senyum puas mengembang di bibirnya. "Seperti yang kita duga," ujernya bangga.

Sunday, January 23, 2011

Lomba cerpen

Hahai… saya bawa info lomba niy… pada mau ikut ga?

keren lho… bikin kita tertantang.

buat yang cinta ama Korea, kalian bisa bikinnya kaya FF lho, coz ada setting yang di ambil di korea.

pecinta Jepang juga ada, so, ikutan deh… ^^

ni dia lombanya ^^

=================================================



Alhamdulillah akhirnya kami bisa kembali menyelenggarakan sebuah event, lomba menulis yang semoga akan membuat adrenalin kalian berpacu lebih cepat. Jika menulis cerpen BEBAS itu sudah biasa. Maka kali ini, kami membuat lomba menulis CERPEN dimana paragraf pembuka dan penutupnya telah kami tentukan.


PENASARAN???



CEKIDOT!!!



LOMBA MENULIS CERPEN CINTA (CERITA LINTAS BENUA) 2011


Syarat dan ketentuan:

Peserta merupakan anggota dari Heart & Soul Writing Community (yang belum silahkan meng-klik tombol LIKE di laman tersebut) http://www.facebook.com/pages/HSWC-Heart-and-Soul-writing-Community/181850848506696
Naskah ditulis dengan huruf TIMES NEW ROMAN 12, spasi 1,5, A4
Panjang Naskah min.6 halaman dan maks. 10 halaman
Naskah tidak mengandung SARA maupun pornoaksi
Setiap peserta hanya boleh mengirimkan 1 (satu) naskah terbaiknya
CANTUMKAN BIODATA (NAMA, ALAMAT, NO TELP) DI HALAMAN TERAKHIR NASKAH (BOLEH LEBIH JIKA CERPEN BERJUMLAH 10 HALAMAN).
Kirimkan naskah melalui email: heartsoul_writingcommunity@yahoo.com dengan JUDUL FILE : NAMA + JUDUL CERPEN dan hardcopy (2 rangkap –> boleh asli maupun fotocopy) ke alamat: Fitri Andriani Jl. Letjen S Parman RT.23 No.89C Balikpapan Kalimantan Timur 76122
Bagi mereka yang berdomisili di luar negeri pengirimannya boleh diwakilkan oleh teman, saudara dsb
Batas pengiriman baik email maupun hardcopy adalah tanggal 6 Februari 2011 (cap pos)
Peserta wajib memposting SINOPSIS naskahnya di notes FB masing-masing dan men-tag fitri gita cinta, syahidah amaniyah dan HSWC – Heart & Soul Writing Community dan 15 teman lainnya. Sertakan logo HSWC pada postingan tersebut.
Peserta yang tidak memenuhi syarat akan langsung kami diskualifikasi
Pengumuman pemenang akan diumumkan pada tanggal 28 Februari 2011
Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat
Silahkan memilih salah satu dari OPTION di bawah ini sebagai paragraf awal dan paragraf akhir dari naskah yang akan kalian buat. JUDUL BEBAS.



Pilihan 1

Setting: New York City – US

Paragraf pembuka:

Central Park.

Menjelang sore.

Lizzy tersentak dari lamunan ketika sehelai daun maple berwarna kemerahan jatuh menimpa keningnya. Musim gugur tahun ini seolah datang terlalu cepat. Langit di atasnya masih membiru cerah dan bernoda kilau matahari. Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang gadis kecil menggesek biolanya memainkan Ode to Joy Beethoven di hadapan seorang lelaki tua berambut perak. Lizzy sudah sering melihat mereka namun selalu iri melihat kehangatan yang terpancar di mata kakek dan cucu itu. Mereka sama sekali tak terusik oleh musim gugur yang menyelinap diam-diam di balik dedaunan mapel.


Paragraf penutup:

Di tengah sejuknya angin musim gugur Lizzy tersenyum. Tangannya mendekap buku sketsa milik Dylan di dadanya. Tak ada lagi penyesalan mengendap di hatinya. Musim gugur kali ini telah mengingatkannya pada hal terindah yang pernah dimilikinya.

Thanks, Dylan. You’re always gonna be my autumn.



Pilihan 2

Setting: Lugano – Swiss

Paragraf pembuka:

“Arrividerci, Fabrian.”

Aku melilitkan sehelai syal merah menutupi leher sesaat sebelum melangkah pergi meninggalkan Lugano Dante Hotel . Tak terasa seminggu telah berlalu sejak aku menapakkan kakiku di Zurich International Airport.

“Kau benar-benar akan pergi sekarang?” Tanpa kuduga, Fabrian menatapku dalam dengan bola mata birunya.


Paragraf penutup:

Dear Fabrian,

Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Ingatkan aku untuk kembali ke Lugano suatu hari nanti.


Kupandangi kartu pos berisi tulisan tanganku itu dengan dada bergemuruh sebelum menyelipkannya ke dalam kotak surat. Segera sesudahnya, aku gegas melangkah masuk ke ruang tunggu Zurich International Airport. Dalam waktu setengah jam ke depan, pesawat yang kutumpangi akan mengudara menuju tanah airku, meninggalkan Fabrian dan sepenggal harapan yang dititipkannya padaku.



Pilihan 3

Setting: Seoul – Korea Selatan

Paragraf pembuka:

“Kau siap?” tanya lelaki di sampingnya sekali lagi. Seakan memberi kesempatan pada Naya untuk merubah keputusannya. Tapi gadis itu menggeleng pelan meski kakinya tidak juga bergerak melangkah.

Mereka berdiri di ujung Doldam Street. Wajah Naya terlihat ragu. Ia tahu, ia tak boleh percaya takhayul. Tapi perkataan teman-temannya membuat Naya diserang keingin tahuan yang begitu besar. “Apa benar kisah cintaku dengan Jonghyun oppa akan berakhir jika kami melewati jalan ini?” gumannya dalam hati. Karena rasa penasaran yang terus menyerang, akhirnya ia mengajak kekasihnya itu menyusuri jalan yang dianggap terkena kutukan. Agar ia tahu, apakah cinta mereka seabadi yang ada di dalam pikirannya.



Paragraf penutup:

“Sarang hae…” teriak Jonghyun di keramaian. Tak peduli meskipun orang-orang melihatnya dengan mata penuh tanda tanya. Mereka toh tak tahu artinya.

Naya berdiri di seberang jalan dengan mata berkaca-kaca. Perasaannya membuncah hingga tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa membalasnya dengan gerakan bibir yang mungkin tak akan terbaca dari kejauhan. Aku juga mencintaimu, Oppa!



Pilihan 4

Setting: Kyoto – Jepang

Paragraf pembuka:

“Hentikan!”

Akira melemparkan begitu saja tasnya di atas tanah becek sehabis hujan. Ia tidak bisa tinggal diam melihat perkelahian tidak sebanding itu. Empat lawan satu. Sama sekali tidak jantan.

“Hei, kau mau jadi pahlawan?” bentak si gendut yang wajahnya basah oleh keringat. Tangannya terkepal siap melanjutkan aksinya memukuli anak berambut gondrong yang pelipisnya mengeluarkan darah.

Akira melepaskan jas hitam dimana tertera lambang Katsura High School di dada kirinya. Maju selangkah lalu memasang kuda-kuda. “Aku tidak takut. Lawan aku kalau kalian memang jagoan!”



Paragraf penutup:

“Aku kira persahabatan kita telah berakhir,” kata Akira di tengah hiruk pikuk malam puncak perayaan Aoi Matsuri.

“Karena Yuri telah memilih maka aku harus menghargai keputusannya. Kau orang yang tepat untuknya.” Ryo menepuk pundak sahabatnya itu. “Benarkan, Yuri?” tanyanya disambut dengan senyuman bahagia di wajah Yuri yang terlihat cantik dengan yukata merah yang dikenakannya malam itu.







Hadiah:

12 Naskah terbaik akan mendapatkan sertifikat dan akan dibukukan.

3 Naskah terbaik akan mendapatkan paket buku + buku yang akan diterbitkan + sertifikat + merchandise HSWC




Selamat berlomba!



salam

<3 TIM HSWC


menulis untuk dunia

====================================================



Selamat berkarya ^^

Cerpen 'Skies of Love' oleh Syahidah Amaniya

Ini tulisan Mbak Syahidah (salah satu admin dari HSWC-Heart and Soul Writing Community).
Saya yang kasih
paragraf pembuka:
Mata biru itu menatapku tajam. Menusuk hingga ke palung hati. Nyeri sampai menggigit tulang. Membekukan aliran darahku yang semula lancar. "Apa salahku?" aku bertanya dengan napas tercekat.

Dan penutupnya:
Alex mendorong kursi rodaku. Ia baru berhenti saat memasuki rumah kaca yang membuatku terpana. Ada banyak bunga krisan putih, kuning, dan merah, di sana. Bunga kesukaanku. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum manis dan berkata lembut, "Hadiah untukmu, My Princess. Selamat datang kembali."

So, dibuat Mbak Syahidah jadi sebuah cerpen yang menyentuh hati Saya. Saya jadi pengen punya suami kayak Alex, pengertian anget T_T

Udah deh, met baca aja ^^
=================================================================

Skies of Love

Mata biru itu menatapku tajam. Menusuk hingga ke palung hati. Nyeri sampai menggigit tulang. Membekukan aliran darahku yang semula lancar. "Apa salahku?" aku bertanya dengan napas tercekat.
“Tidak ada.” Jawab Alex, si pemilik mata biru itu. Suaranya nyaris sedingin es di puncak Andermatt. “Hanya saja sepertinya kau lebih mencintai langit biru, tebing-tebing dan puncak-puncak gunung yang kau daki selama ini. I’m nothing for you.”
Oh, I hate it.
Bahuku seketika merosot membuat The North Face biru yang sedari tadi bertengger di sana terbanting jatuh ke lantai. Untung aku masih cukup waras untuk tidak menjatuhkan tas slempang berisi kamera Nikon D3x, Nexus dan Seacams housings yang tersampir di bahuku yang lain.
“Itu tidak benar, Al. Aku tidak terima. Kau terlalu berlebihan.” Sergahku cepat. Buru-buru aku meletakkan properti fotografiku di rak buku terdekat.
“Berlebihan?” Kilatan mata biru Alex kini terasa menampar wajahku. “Berapa kali kau ada untukku dalam tiga bulan ini, huh? Kau bilang tak punya waktu untuk menemaniku membeli kado ulang tahun Mom, tapi anehnya, kau selalu punya waktu untuk ekspedisi ke Himalaya, Yosemite, Mont Blanc dan entah apalagi. Apakah menurutmu aku berlebihan?”
“Oh, Honey. Please. Aku tidak ingin bertengkar soal itu lagi.” Sepasang mataku memandang Alex dengan tatapan memohon. Lagi-lagi urusan pekerjaan membuatku terpaksa bersitegang dengan pria terkasih ini.
“Jujur, aku tidak ingin bertengkar denganmu, Aud.” Alex bangkit dari sofa setelah melemparkan New York Times-nya ke atas meja. “Selama tiga bulan terakhir ini aku benar-benar kehilangan Audrey-ku.”
Kepalaku menggeleng cepat.
“I’m yours, Al. Akan seperti itu selamanya.”
“Tidak.” Alex berpaling, enggan menatapku. “Jangan bercanda. Bukankah selama ini aku hanya memilikimu dalam web cam laptop atau layar BlackBerry? Kau jauh lebih sibuk daripada Annie Leibovitz.”
“ALEX!” kutarik paksa lengan Alex, mencegahnya berlalu dari hadapanku. “Tolong berhenti menyudutkan aku. Kau ...”
“What?” Alex menarik tangannya sengit. “Kau mau bilang aku tidak memahami kehidupanmu?”
“Itu kenyataan.”
“Lucu. Coba ingat baik-baik, Aud. Pernahkah aku protes saat kau lebih memilih pergi ke Kilimanjaro di hari wisuda pasca sarjana-ku? Apakah aku melarang saat kau ingin ikut serta dalam ekspedisi ke Karakoram di hari pertamaku masuk kerja? Ingat, aku bahkan tidak keberatan ketika kau lebih menginginkan bulan madu di Alpen daripada mengikuti saranku pergi ke Maldives. Tell me. Bagian mana yang tidak kupahami soal kehidupanmu?”
Mataku benar-benar basah sekarang. Selama dua puluh tahun kami bersahabat sebelum akhirnya menikah, tidak pernah sekalipun kulihat Alex semarah itu. Seperti ada ribuan jarum menusuki dadaku. Benarkah ini Alex yang kunikahi enam bulan lalu? Alex yang kalem dan tidak banyak tingkah. Alex yang lebih suka merawat taman bunga di waktu luangnya. Alex yang selalu tersipu saat kutatap mata birunya. Pria inikah?
“I’m sorry, Aud.” Tegasnya. “Ini sama sekali bukan kehidupan yang ingin kujalani bersamamu.”
Kulihat Alex menyambar jaketnya dari gantungan di belakang pintu. Tangisan yang sedari tadi kutahan mati-matian pecah bersamaan dengan gerakan tangan Alex yang memutar handel pintu. Dan sejak kapan travel bag Alex terserak di dekat pintu?
God! Jangan biarkan itu terjadi!
“Alex! No.” Seperti kesetanan aku berlari ke pintu dan memeluk tubuh tegap Alex dari belakang. “Alex, jangan pergi. Please don’t leave me, Sweetheart.”
Alex membeku sesaat hingga aku bisa mendengar suara degup jantung dari balik punggungnya. Aku menangis antara kesal dan tidak siap kehilangan Alex. Tidak. Selain karena kematian, kurasa aku tidak akan pernah siap kehilangan dia. Kehilangan Alex berarti aku kehilangan separuh jiwa yang selama ini selalu menjadikanku utuh.
“Alex? Alex, please say something.” Aku tersendat sambil membenamkan kepala di bahunya.
Alex mencengkram ambang pintu kuat-kuat. Dia menghela nafas panjang beberapa kali sebelum akhirnya berkata lirih, “Sekali ini saja, maukah kau melakukan sesuatu untukku, Aud?”
“Ya. I will.” Aku mempererat pelukanku di pinggang Alex.
“Aku ingin kau berhenti dari pekerjaanmu.” Sahut Alex.
Huh?
Aku terkesiap dalam posisi masih memeluk Alex. Apa katanya tadi? Dia ingin aku meninggalkan karir fotografiku di Adventure Magazine? Ya ampun. Padahal aku memerlukan rekomendasi redaksi majalah itu untuk mewujudkan cita-citaku menjadi fotografer National Geographic.
“Are you serious, Hon?” Aku menarik kepalaku dari bahu Alex.
“Kau mau?” Alex balik bertanya.
Tuhan, ini keputusan sulit. Bagaimana jika aku menginginkan kedua-duanya? Aku ingin Alex selalu bersamaku tapi aku juga tak ingin kehilangan pekerjaanku. Tidak setelah aku menjelajahi hampir separuh dunia untuk demi mendapatkan foto-foto nominasi Pullitzer.
“Audrey?” suara Alex terdengar tidak sabar. “I need your answer.”
Kurapatkan tubuhku pada punggung Alex, berusaha menghimpun kekuatan untuk menjawab pertanyaannya.
“Tolong beri aku waktu tiga bulan, Al.” Ujarku susah payah. “Setidaknya kau harus menunggu sampai kontrak kerjaku berakhir.”
Alex tertawa sinis. Dia melepaskan tanganku dari pinggangnya.
“Kau tidak ingat? Aku telah memberimu waktu bertahun-tahun, Aud.” Cecarnya. “Aku tidak ingin menunggu tiga bulan lagi untuk mendapatkan kehidupan normal itu. Kau yang memutuskan, bukan aku.”
Kemudian segala sesuatunya terjadi begitu cepat. Alex menyambar travel bag-nya dari ambang pintu. Tanpa berkata sepatah pun, dia melesat ke garasi dan pergi begitu saja membawa semua kesal dan kecewa di mata birunya.

***

Tebing Shawangunks, 1,5 kilometer dari NYC.
Aku membidikkan kamera Mamiya 365 berlensa 33 mm ke arah Wallkill River Valley dan Mid Hudson Valley di kejauhan. Seutas tali kernmantel dinamis berwarna ungu terhubung pada screw gate carabiner di harness-ku. Memotret dari ketinggian seperti ini sudah sering kujalani. Aku sudah terbiasa melakukannya sejak Dad membawaku hiking ke Yosemite di usia lima belas. Sejak itu, aku jatuh cinta pada alam bebas. Aku selalu terpesona menyaksikan langit biru di musim panas dan matahari terbenam di musim gugur. Di ulang tahunku yang kedelapan belas, Alex memberiku sebuah kamera Olympus yang menjadi cikal bakal karirku di dunia fotografi.
Alex yang manis. Dia rela menguras habis tabungannya demi membelikanku kamera itu. Aku tak bisa berhenti tersenyum saat itu karena bahagia luar biasa.
“Supaya kau bisa menyimpan langit biru dan matahari terbenam itu.” Kata Alex saat menyelipkan kamera itu dalam genggamanku.
Kalau aku harus memilih dua laki-laki yang paling kucintai di dunia ini, maka aku pasti tanpa ragu memilih Dad dan Alexander Vahradian, my sweet Alex. Selamanya.
“You okay up there, Hepburn?” suara keras Joacquin, co-photographer-ku, menyadarkanku dari lamunan.
“I’m okay, JoJo.” Sahutku sambil menjepretkan kamera untuk terakhir kali. “Oke, aku turun.”
Joacquin tersenyum lebar melihatku melorot turun dari ketinggian tebing Shawangunks. Segera setelah kakiku menjejak tanah, kulepas helm Petzl kuning dari kepalaku dan memutar kunci screw gate carabiner yang menghubungkan tubuhku dengan tali pengaman.
“Got your Pullitzer, huh?” candanya.
Aku mengedikkan bahu.
“Ini. Lihat saja sendiri.” Kuangsurkan Mamiya 365 yang sedari tadi terkalung dalam tas khusus kamera di leherku pada Joacquin. “Moodku sedang jelek hari ini.”
Aku tidak bohong. Setelah pertengkaranku dengan Alex semalam, segala sesuatu di depanku tampak seperti potret hitam putih tak bernyawa. Aku tidak tahu dimana Alex saat ini. BlackBerry-nya dimatikan sejak semalam, Aku bolak-balik menelpon ke rumah orang tuanya, tetapi selalu ibunya yang menjawab, mengatakan Alex tak ada di rumahnya. Sekretaris di kantornya mengatakan Alex mengambil cuti seminggu.
Where are you, Sweetie?
“Well, foto-foto ini terlihat dramatis.” Joacquin sibuk mengamati LCD kameraku selama beberapa saat. “Tidak seperti kebanyakan foto-fotomu yang liar dan bebas.”
“Sudah kubilang mood-ku sedang jelek hari ini.” Cetusku sambil menempelkan ponselku ke telinga. Mencoba menelpon Alex untuk kesekian kalinya. Gagal. BlackBerry-nya masih tidak berfungsi.
“Kau tak perlu jadi galak begitu, Hepburn.” Joacquin menertawai tampangku yang kesal. “Tenang saja. Dengan sedikit efek computer, kesan dramatis ini bisa dihilangkan.”
“Aku tidak mau.” Sahutku cepat. “Aku ingin foto natural tanpa efek computer apa pun itu. Baiklah, aku akan memanjat ke atas sekali lagi.”
“Hepburn, kau sudah berada di atas sana sepanjang hari.” Joacquin buru-buru mencekal bahuku. “Percayalah. Foto-fotomu sangat bagus.”
“Tolong berhenti memanggilku Hepburn. Namaku Audrey Vahradian.” Kataku sengit. Kurebut kamera di tangan Joacquin dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Tanpa memedulikan sinar protes di matanya, kuselipkan simpul figure of eightke carabiner lalu menguncinya.
“Lihat, kru lapangan telah melepaskan seluruh pengaman sisip dari dinding tebing.” Joacquin menunjuk ke arah tebing yang menjulang setinggi lima puluh meter di depan kami. “Sudah hampir waktu makan siang. Kau bahkan tidak sempat sarapan tadi.”
“Sebentar saja.” Aku berkeras lalu mulai menggantungkan serangkaian pengaman sisip dan runner pada harness. “Tenanglah. Aku sudah terbiasa memasang pengaman sisip. Lagipula aku tidak bermaksud memanjat sampai ke puncak tebing. Tapi aku memerlukanmu untuk jadi belayer.”
“Audrey, jangan memanjat bila mood-mu sedang tidak bagus.” Joacquin menatapku sangsi. “Aku bisa membawamu kemari lagi besok.”
Aku mengangkat bahu.
“Siapa yang bisa menjamin cuaca akan secerah ini besok? Kau?” Aku melempar sebuah harness ke tangan Joacquin. “Ini bukan masalah mood, Joacquin. Ini masalah fotoku. Profesionalitasku.”
Joacquin memakai harness-nya setengah hati. Perdebatan seperti ini sering terjadi antara aku dan Joacquin. Sebagai senior, aku selalu berhasil memenangkan perdebatan semacam itu. Juga kali ini.
“Oke, jangan memanjat lebih dari lima belas meter.” Joacquin mengacungkan telunjuknya padaku.
“Tidak bisa. Setidaknya aku harus memanjat setinggi dua puluh meter.”
“Lima belas. Atau kau terpaksa memanjat tanpa belayer.” Tandas Joacquin, enggan memberiku pilihan.
Setelah tawar menawar disepakati, aku mulai memanjat naik tanpa kesulitan berarti. Tebing Shawangunks sudah seperti playground bagiku. Aku cukup sering memanjat tebing ini bersama Dad dulu. Aku juga pernah satu kali mengajak Alex ke tempat ini, tetapi dia trauma datang kemari setelah menyaksikan aku jatuh menghantam permukaan tebing sejauh dua setengah meter. Aku tidak terluka serius tapi Alex sangat shock setiap kali mengingat kejadian itu.
“Ya, Tuhan. Kau tidak apa-apa, Aud? Kau nyaris membuatku terkena serangan jantung.” Katanya cemas dengan wajah sepucat lilin.
Mengingat Alex membuat mataku basah seketika. Benarkah aku telah sedemikian egois padanya? Tiba-tiba rasa sakit yang amat sangat menghantam ulu hatiku. Seperti inikah yang dirasakan Alex saat aku meninggalkannya berhari-hari? Sangat pedih dan nyeri.
Alex, kau dimana, Sayang?
Aku berhenti memanjat setiap kali mencapai ketinggian dua meter, memasang pengaman lalu kembali memanjat, sedapat mungkin menjauhkan bayangan Alex dari pikiranku. Terus dan terus hingga aku mencapai ketinggian sepuluh meter. Aku baru saja akan memasang pengaman pengaman kesekian ketika rasa sakit hebat menguasai tubuhku.
Ada apa ini? Pengaman sisip yang kupegang jatuh terbanting ke tanah di bawahku. Pandangan mataku tiba-tiba memburam dan berangsur-angsur berubah menjadi hitam pekat. Aku tak bisa melihat apa pun. Sebelum jatuh pingsan, aku merasakan tubuhku melayang sesaat lalu dunia di sekitarku hanyalah gelap dan sunyi.

***
Lennox Hill Hospital
Menjelang senja.
Aku tersadar di pembaringan rumah sakit dengan seluruh tubuh nyeri, terutama bagian perut dan kaki kananku. Sambil mengernyit menahan nyeri, aku memaksa kedua mataku untuk terbuka sepenuhnya. Hal pertama yang kulihat adalah sepasang mata biru yang menatapku cemas sekaligus penuh rasa syukur.
“Audrey? It’s me, Sunshine.”
“Alex?” Mataku melebar tak percaya. “Is it … is it … really you?”
Alex mengangguk dengan mata penuh air.
“I’m sorry.” Dia tergugu sambil menggenggam tanganku seerat yang dia bisa lakukan. “Mestinya aku tak meninggalkanmu malam itu, Honey. Aku kembali ke rumah siang ini dan mendapati pesan Joacquin di answering machine. Katanya kau jatuh pingsan di Shawangunks. Aku benar-benar menyesal meninggalkanmu. Aku tak akan bisa memaafkan diriku bila … bila …”
“Ssshhh.” Kutarik Alex mendekat hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti. “Itu bukan salahmu, Al.”
Alex menggeleng sambil mengusap wajahku yang dibasahi air mata.
“Aku yang salah.” Tegasku setelah berhasil mengingat apa yang terjadi. “Aku mengalami kram perut dan … alright, kurasa radang lambungku kambuh. Aku … aku sangat sedih kau pergi malam itu. Kau tahu, kalau aku sedih aku tidak berselera makan. But, it’s not your mistake anyway.”
Alex membungkuk dan mencium keningku yang terbalut perban.
“You’ll be okay.” Katanya lembut. “Selain kaki kananmu yang patah dan radang lambung itu, dokter bilang kau baik-baik saja.”
Selama beberapa menit selanjutnya aku dan Alex hanya saling berpandangan dalam keheningan. Kubiarkan detik-detik berlalu dengan menatapi kerlip bintang di mata biru pria terkasihku itu, merasakan pancaran hangatnya yang menjalari hatiku. Baru kusadari, sudah lama aku tidak menatap Alex seintens ini. Aku bahkan lupa bila aku selalu jatuh hati setiap kali menatap matanya. Sepanjang karirku, aku telah melihat langit malam dan bintang di berbagai belahan bumi, namun tak ada langit yang sebiru dan secemerlang mata Alex yang menatapku penuh kasih.
“Sebenarnya kau kemana semalam?” aku tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku setelah hampir sehari penuh kehilangan Alex.
“Di terminal bus.” Alex mengembangkan seulas senyuman. “Tadinya aku berniat pulang ke New Jersey, tapi pada akhirnya yang kulakukan hanya duduk semalaman memandangi bus yang datang dan pergi.”
“Maafkan aku, Al …” Airmataku kembali menganak sungai di pipi. Rasa bersalah membanjiri hatiku tatkala membayangkan Alex duduk semalam suntuk di terminal dengan hati remuk redam akibat keegoisanku. “Aku tak menginginkan petualangan lagi setelah ini.”
Alex mengernyit.
“Kau yakin?” dia menyelidik ke dalam mataku.
“Ya.” Aku mengangguk. “Karena petualanganku yang sesungguhnya adalah bersamamu menjalani kehidupan ini. Sampai aku tua nanti. Aku ingin terbangun di pagi hari di sampingmu, berdansa di dapur bersamamu, dan, hei … sudah berapa lama aku tidak menengok rumah kaca di halaman belakang?”
“Lama sekali.” Alex tertawa. “Kurasa bunga-bunga itu merindukanmu, Sweetheart.”
“Benarkah?”
“Kau dulu selalu memotret mereka setiap pagi dan petang. Ingat?” Alex mencium keningku sekali lagi. Kali ini lebih lembut. “Istirahatlah. Kita akan bicara lagi besok. Hm?”

***
Lima hari selanjutnya benar-benar menjadi milikku dan Alex. Dia menemaniku sepanjang hari di rumah sakit, membacakan buku untukku dan membawaku berkeliling taman rumah sakit dengan kursi roda. Aku belum pernah merasa sebahagia itu sebelumnya. Saat aku tertawa, Alex akan ikut tertawa bersamaku, membuatku merasa seperti wanita tercantik di dunia.
Tepat di hari keenam, aku diijinkan pulang. Alex diam-diam menyembunyikan sesuatu dariku. Sepanjang perjalanan pulang dia hanya tersenyum misterius sambil sesekali mengedipkan matanya ke arahku.
“Apa kau menyembunyikan sesuatu, Al?” aku menggamit lengan Alex saat mobil kami bergerak memasuki halaman.
“Menurutmu bagaimana?” Dia menyimpan senyum.
“Menurutku kau sedang membuatku sesak nafas.” Sahutku setengah mengomel karena terlalu penasaran.
Di luar dugaanku, Alex tergelak. Senang melihatku penasaran setengah mati. Segera setelah mobil kami berhenti di depan garasi, dia mematikan mesin mobil dan turun lebih dulu untuk mengeluarkan kursi rodaku dari bagasi.
“Sejak kapan kau suka menyimpan rahasia seperti ini, Al?” Gumamku gemas saat Alex menggendongku menuju kursi roda.
“Sejak kau memutuskan untuk bertualang bersamaku.” Alex menghadiahiku senyum malaikatnya. “Oke, kau siap memulai petualangan denganku, Aud?”
“Why not?” Balasku juga sambil tersenyum.
Alex mendorong kursi rodaku. Ia baru berhenti saat memasuki rumah kaca yang membuatku terpana. Ada banyak bunga krisan putih, kuning, dan merah, di sana. Bunga kesukaanku. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum manis dan berkata lembut, "Hadiah untukmu, My Princess. Selamat datang kembali."

Balikpapan
January 23rd, 2011
Syahidah Amaniya
===============================================================

Give your comment ^^

Thursday, January 20, 2011

FF The Fight (1)

Title: The Fight

Genre: Fantasy

oleh Imah_HyunAe

Cast: Infinite, Park Shin Hye, Yoon Eun Hye, Jang Geun Seok,

Chapter 1

" Kita sukses," samar kata itu terdengar di antara 5 namja yang mengerumuni sesosok yeoja. Ada kelegaan di wajah mereka.

Yeoja di tengah mereka, yang terbaring di tanah, membuka matanya. Samar ia melihat bayangan orang-orang berjubah biru langit tengah mengerumuninya. Gugup, ia bangun dengan cepat. Meskipun ia merasa kepalanya pusing sekali.

5 namja cepat-cepat menunduk hormat, dengan salah satu lutut menyentuh tanah.

" Selamat datang, Pelindung Istana..." kata mereka kompak.

Alis Yeoja itu tertaut. " Siapa kalian?"

" Kami para Penjaga Utama." sahut salah satunya.

Yeoja itu semakin bingung. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Pemandangan hijau terhampar, pohon-pohon dan bangunan yang unik membuat mata Yeoja itu terbelalak. " Ini di mana?" tanyanya sambil mendongak ke atas. Ia semakin takjub dengan langit yang berhiaskan warna-warni berkilau. Seperti aurora.

" Area Barat, Tuanku." sahut namja bersuara lembut seperti yeoja.

belum sempat yeoja itu bertanya lebih jauh, 5 namja itu sudah berdiri dan membelakanginya. Wajah mereka tampak panik.

" Ada apa?" tanya yeoja itu heran. Namja bersuara seperti yeoja langsung melepas jubahnya dan menyelimuti tubuh yeoja yang keheranan itu dengan jubah tersebut. Tiba-tiba saja angin bertiup sangat kencang. Timbulkan hawa dingin yang menggigit tulang. Awan-awan hitam berarak cepat menutupi kemilau aurora tadi.

" Mereka datang..." gumam namja yang terlihat dingin. Wajahnya mengeras.

" Siapa?" tanya yeoja tersebut. Namja lain terlihat makin waspada.

" Penghuni Lubang Hitam," kata Namja yang menyelimutinya dengan jubah tadi sambil menariknya agar lebih terlindungi.

Jelas yeoja itu tidak mengerti. Yang ada di pikirannya saat ini adalah ia sedang bermimpi.

" Seung Jeong-ah, cepat bawa Pelindung Istana ke Utara."

Namja di samping yeoja itu mengangguk. Dilingkarkannya tangannya pada yeoja itu.

Belum sempat si yeoja itu protes, mereka sudah mengudara.

" Mian, melibatkanmu." kata namja yang di panggil Seung Jeong, pelan.

" Nde?" yeoja itu menoleh heran. Belum hilang keheranannya, ia harus kembali terkesiap. Sayap biru langit bercampur putih tampak nyata. Ia cepat melihat ke punggung Seung Jeong. Sayap itu memang milik namja berwajah cantik ini.

' Wow, ini mimpi kan? Keren sekali!' jerit hati yeoja itu girang.

" Kau cukup jadi dirimu, Shin Hye-ssi, dan semua akan baik-baik saja." lanjut Seung Jeong.

Kening Shin Hye mengerut. ' Apa dalam mimpi pernah jadi orang lain?' batinnya bingung.

Mendadak sosok berjubah hitam berkilau muncul di depan mereka. Tanpa sempat mencegah, sosok bermata tajam itu mencekik leher Seung Jeong dan menarik Shin Hye kasar ke pelukannya. Shin Hye menjerit kesakitan. Dinginnya tangan namja bermata tajam itu seperti masuk ke dalam tulang. Shin Hye merasa sebelah tangannya kaku seketika. Sementara Seung Jeong meringis kesakitan. Tangannya berusaha melepas cekikan yang membekukan sekaligus melemahkan. Namun, terlambat. Cekikan itu juga menghisap kekuatannya. Seung Jeong tak berdaya lagi. Menyadari hal itu, tanpa belas kasihan sama sekali, namja bermata dingin itu mempererat cekikannya lalu melempar tubuh Seung Jeong sekuat tenaga ke bawah. Shin Hye berteriak ketakutan sekaligus kesakitan lantaran tangan dingin itu tidak hanya membekukan tangannya, tapi seluruh tubuhnya. Sakitnya terasa nyata sekali.

Bunyi berdebum terdengar. Namja itu menyeringai puas lalu membawa Shin Hye yang sudah menangis kesakitan menjauh dari langit Area Barat.

TBC

gimana? ini pertama kalinya q bkin fantasy ^^

Monday, January 17, 2011

Kampus 5

Kampus 5
oleh Imah_HyunAe
cast: mahasiswa Unpar


Aku menatap saudara kembarku. Matanya tajam, mengisyaratkan keterkejutannya terhadap pertanyaanku. Aku mendesah. "Bukankah itu kenyataan. Kau dan dia tak akan bisa memulai karena memang tak bisa. OK. Kalian mungkin saling cinta, tapi apa bisa bersama? Kita berbeda keyakinan dengannya. Kau dan dia tak mungkin merubah keyakinan masing-masing!"

Kembaranku memalingkan wajahnya. Sembunyikan kabut yang menggantung di matanya. "Benar..." lirih pelan. Tercekat.

"Jadi, jangan mempertahankan rasa itu lagi." kataku nyaris memohon. Aku tahu derita mencintai tapi tak bisa bersatu. Sangat! Bahkan, susah payah mematikan rasa itupun tetap tak berhasil.

"Aku sudah berusaha!" katanya setengah menjerit. " Tapi setiap kali bertemu di kampus, di kelas yang sama, aku benar-benar tak berdaya." ia terisak sekarang. "Kenapa aku harus jatuh cinta padanya?"

Aku menatapnya nanar. "Juga kenapa cinta itu tak jua sirna?"

Air matanya bergulir pelan.

Sunday, January 16, 2011

Cerita kampus 4

Kampus 4
oleh Imah_HyunAe
inspirasi: kisah teman SMAku ^^
lokasi: kampus Unpar

Libur semesteran tiba. Teman-teman sejurusan denganku sudah pulang ke kampung mereka masing-masing guna bertemu keluarga. Sedang aku...

Ada pilu yang menancap di sudut hati ini. Bagaimana tidak. Hanya aku sendiri di dunia ini. Orang tuaku telah meninggal. Ayah 2 tahun lalu, dan ibu 6 bulan lalu. Aku tak punya saudara kandung. Saudara jauh, tak ada yang kukenal. Jadi, aku tak punya tempat untuk pulang sekarang.

Kutatap bangunan kampus bertuliskan Gedung D di depanku. Sepi. Sesepi hatiku. Andai bisa, aku ingin tak ada liburan. Jadi, teman-teman tak ada yang pulang dan aku tak perlu merasa kesepian.

Ya, aku masih kuliah hingga sekarang, karena uang pensiunan ayah dan ibu. Beruntung memang. Namun tetap saja merasa jauh lebih beruntung mereka yang punya orang tua.

Apa aku bersedih terhadap takdir? Mungkin 'ya'. Aku memang belum dewasa untuk menerima semuanya...

Friday, January 14, 2011

Cerita Kampus 3

Kampus 3
Cast: 1 of Unpar's student.
Author: Imah_HyunAe
AN: ini kisah kawan saya ^^



Aku meratap pada senja yang berarak. Merasa keputusan pulang kampung adalah kesalahan. Aku memandangi sosok keluargaku di dalam. Aku tahu Tuhan sangat menyayangiku. Karenanya Dia menjadikan aku anak kedua dari lima bersaudara. Karena sayangnya Dia mengambil ibuku dan memaksa aku yang manja menjadi dewasa dalam usia yang masih sangat muda.
Tuhan sangat menyayangiku, karenanya Dia memberikan aku ibu pengganti yang sangat menyayangi adik-adikku dan kakakku, tetapi begitu membenci keberadaanku.

Aku tidak marah pada Tuhan, karena aku tahu Tuhan sangat menyayangiku.
Buktinya, ia masih mengijinkan ayahku yang memiliki penyakit jantung yang sudah parah bernapas sampai detik ini.
Ia juga masih memberiku kekuatan untuk bertahan dalam keadaan yang menyakitkan ini.

Aku mendesah. Senja pertamaku di kampung halaman perlahan tenggelam. Seperti asaku yang menghitam...

Cerita Kampus 2

Kampus 2
Cast: 1 of Math Unpar's student.
Author: Imah_HyunAe
AN: jangan percaya apapun yang saya tulis karena ini imajinasi saya saja.



Aku menatap pilu pada jalan-jalan yang kulalui bersama hatiku mengambang. Antara ingin pulang atau tetap tinggal. Aku tahu apa yang akan kudapati ketika aku di kampungku. Di rumah orang tuaku. Benar. Sebuah keluhan panjang. Betapa tak sabarnya mereka ingin menikmati masa tua dengan tenang, tanpa perlu lelah bekerja dan memikirkan uang.

Andai bekerja tak perlu ijazah S1, aku sudah pasti melamar kerja dan memberikan gajiku untuk kehidupan tua orang tua. Ya, andai saja bisa.

Aku bukanlah makhluk yang tak punya hati hingga tega biarkan orang tua yang seharusnya beristirahat, memfokuskan diri pada ibadah, justru bekerja keras seperti ini. Aku tahu! Aku juga tengah berusaha agar tak menyusahkan mereka. Hanya saja tampaknya belum waktunya. Tuhan tahu, tapi mungkin memintaku menunggu. Jadi, Ayah, Ibu, bersabarlah. Aku akan usahakan bahagia hadir di rumah kita...

Tuesday, January 11, 2011

Kampus 1

Kampus 1
oleh Imah_HyunAe
nb: ini imajinasi saya terhadap tingkah teman-teman di kampus, hehehe... Dan COPY CAT+SILENCE READER, GET OUT!


Ruangan bercat putih tampak sepi. Sesepi langit yang menaungi hatiku.

Aku melangkah ke dekat kursi dekat jendela. Menanti sosok yang selalu dirindui hati beberapa hari ini. Duduk di kursi kayunya yang sederhana dan mendesah panjang. Berharap debaran jantung menjadi normal.

Firasat cinta yang kuat. Aku menoleh dan mendapati siluet dirinya yang mengendarai Shogun memasuki area gedung D. Senyumku mengembang. Yang kucintai telah datang...

Beberapa menit kemudian dia telah duduk. Di barisan kedua kursi tengah. Selalu.

Aku mengamati gerakannya yang aktif dengan ekor mataku. Pelangi di hatiku terlukis kian indah. Ingin ku tunjukan tapi aku takut hujan hancurkan keindahan. Jadi, biarlah rasa ini kusimpan. ^^

>>cut>>

Hayo anak matematika Unpar angkatan 2008, kira-kira itu sudut pandang siapa? Ada yang bisa nebak? =D

Friday, January 7, 2011

FF Lomba Perjodohan

Perjodohanku
By Imah_HyunAe



Berumur 22 tahun dan berada di semester terakhir pada perkuliahanku, fokusku tak hanya pada skripsi, tapi juga pada ‘calon suami’. Orang tua sudah memberi kebebasan padaku untuk memilih siapa lelaki yang kurasa cocok denganku. Aku tersenyum. Teringat bagaimana mereka melarangku pacaran dulu sebelum sekolahku selesai. Aku mengerti kekhawatiran mereka. Anak perempuan terlalu rawan jika pacaran saat sekolah. Takut merusak nama baik juga. Karena mengerti itulah hingga saat ini aku tak pernah mengenal yang namanya pacaran.
Lalu sekarang, saat restu sudah di tangan, aku kebingungan. Aku yang terbiasa menyukai dan memendamnya di hati, bisakah menemukan pasangan? Adakah laki-laki yang akan melamarku untuk menjadi istrinya padahal selama ini banyak yang mengenalku menutup hati pada mereka?
Hatiku menjerit. Aku terpenjara pada perlindungan yang kubangun sendiri.
Aku mendesah panjang. Khayalan tentang pertemuanku dengan jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku, kembali hadir di benakku.
Benar. Aku selalu berkhayal, suatu hari seorang laki-laki dengan akhlak yang baik, dengan segala kebaikan ada padanya, datang melamarku. Mengatakan bahwa, “Selama ini aku selalu ada di sekitarmu, hanya kau yang tak menyadari kehadiranku.” Saat itu aku akan tertunduk dan tersenyum malu. Lalu lelaki itu melanjutkan lagi, “Aku tahu kau tak mau pacaran, dan itu semakin meyakinkanku kalau tak salah jika kau jatuh hati padamu. Jadi, maukah aku jadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku?” dan aku mengangguk.
Ah, khayalan yang indah, bukan? Aku tersenyum. Andai kenyataan nanti seindah itu…
***

Empat tahun berlalu. Bosan menunggu, ibu dan ayah memintaku menerima pilihan mereka. Benar. Mereka menjodohkanku dengan seseorang yang mereka rasa cocok untukku. Aku tak menolak, karena aku juga sudah lelah menunggu.
Suatu ketika, pagi yang tenang. Ketukan pintu terdengar.
“Itu mereka!” kata ibu ceria.
“Siapa, Bu?”
“Calonmu.” Kata ibu, lalu keluar. Aku bergeming di tempatku. Gelisah. Juga cemas dan takut.
Kudengar pembicaraan mereka yang hangat. Kegelisahanku makin menjadi. Siapa calonku? Akankah aku menyukainya?
“Astri! Buatkan minum, Nak!” pinta ibu dari luar. Ketegangan menyergapku.
Beberapa menit kemudian aku keluar dengan nampan berisi minuman dingin dan cemilan di tanganku. Jantungku jelas berdetak tak beraturan. Aku tak berani menatap siapa tamuku itu. Terlalu takut.
“Apa kabar, As?” teguran dari suara renyah seorang laki-laki membuatku tertegun.
“Kamu masih seperti dulu. Selalu enggan memandangku.” Sambung suara itu lagi.
Ayah, ibu dan dua orang lainnya tertawa pelan.
Apa dia mengenalku? Apa aku mengenalnya?
Ragu-ragu aku mendongak. “Hanif?” suaraku tercekat. Hanif adalah orang yang pernah kusukai saat SMA dulu. Orang yang enggan kutatap karena tak ingin dia tahu aku menyukainya.
Hanif tersenyum. Deburan halus yang lama hilang, hadir kembali. Aku tak mampu mengendalikan perasaanku. Sama seperti SMA dulu.
Entah apa yang dibicarakan oleh para orang tua, tiba-tiba saja ibu menyenggolku.
“Jadi bagaimana?” tanya ibu.
“Eh?” aku kebingungan.
“Hanif, kamu saja yang tanya?” kata ayahku.
Hanif berdehem. “Aku tahu prinsipmu yang tak mau pacaran. Itu semakin meyakinkanku kalau aku tak salah jika sampai saat ini jatuh hati padamu. Jadi, maukah aku jadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku?”
Sampai saat ini, katanya. Jadi, dia sudah menyukaiku sejak lama? Debur di dadaku makin nyata.
Perlahan aku mengangguk.

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap ending

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 10

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 9

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 8

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 7

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 6

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 5

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 4

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 3

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 2

Maaf, karena dibukukan maka isi cerita saya hapus dari blog ^^
silahkan beli bukunya di www.nulisbuku.com ^^

FF Kyopta, I'm Coming!!! chap 1

Title: Kyopta (cantik), I’m Coming!!!
Genre: love drama/ comedy
Oleh: Imah_HyunAe
Cast: Kamu (my reader) aka Park Ha Neul, Kim Jae Joong dbsk, Kim Hyun Joong ss501, Kim Hyun Ae (me, hehe), Cho Yoon Ha (fiktif), Yoon Hee Yi (fiktif).
Disclaimer: Tokoh di atas bukan sepenuhnya milik saya, kecuali Hyun Ae, hehehe ^_^ and cerita ini saya sadur dari novelette saya dengan sedikit gubahan. Semoga kalian suka ^_^ Happy reading 


Chapter 1

Kamu baru pindah ke kota ini dengan hati yang retak. Berharap, di sini kamu bisa bangkit lagi setelah kematian Sungmin waktu itu.
Kamu menutup buku fisikamu dan menyandarkan tubuhmu di sandaran kursi belajar. Kamu menghela napas pelan. Kamu tatap beberapa daun yang melambai diluar sana. Terlihat pula olehmu cahaya senja yang mulai bertahta di angkasa. Tanpa kamu sadari sudah sekian jam kamu menghadapi kata-kata, rumus-rumus, dan angka-angka. Semakin sibuk kamu dengan pelajaran, kamu pikir kamu akan melupakan kematian namja chingumu itu. namun nyatanya tidak.
Benar, baru sedetik bayangan itu melintas, kamu tak bisa berkonsentrasi lagi. Pikiranmu sudah fokus pada peristiwa itu. Saat mendung bergantung di langit. Saat angin bergerak menerpa dedaunan dan ranting dengan lembut. Ketika siswa-siswi lalu lalang meninggalkan sekolah menuju rumah mereka.
***
-flashback-

Kala itu, siang sudah beranjak. Kamu berdiri di bawah pohon akasia yang ada di halaman depan sekolah, menunggu Sungmin, namja paling baik yang pernah kamu kenal.
Taman itu sudah sepi saat sosok Sungmin muncul dengan senyum hangatnya. Tak bisa dipungkiri jantungmu berdetak kencang, rona merah menghiasi pipimu. Perasaan itulah yang membuatmu berani melanggar larangan ‘pacaran’ dari keluargamu. Kamu sangat mencintai Sungmin. Jadi tidak mungkin menurutmu yang kamu rasakan ini cuma cinta monyet.
“Lama, ya?” Tanya Sungmin ketika sudah di depanmu.
Kamu tersenyum sembari menggelengkan kepala. Bagimu, asalkan Sungmin datang, beberapa waktu yang dihabiskan untuk menunggu tak akan membuatmu merasa lama!
“Mau es krim?” tawar Sungmin dengan senyum khasnya sambil membuka tas plastik yang dia bawa. “Tadi kubeli di kantin. Masih dingin… Nih..”
Kamu mengambil es krim yang ditawarkannya. Sambil mnembuka bungkusan es krim tersebut, kalian duduk di tepi kolam yang ada di taman itu. Pembicaraan yang menyenangkan seputar band kesayangan dan novel baru kesukaan kalian terus berlanjut. Sesekali kalian bercanda. Tertawa bersamaan.
Hujan makin lebat saat jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Sungmin memandangimu lama. Membuatmu sedikit grogi.
“Ha Neul-ah…” pangggilan lembut Sungmin hampir membuat jantungmu lepas. “Apa kau tahu kalau aku ingin menjadi hujan?”
Kamu menggeleng dengan mata masih focus padanya.
“Aku ingin menjadi hujan karena kau sangat suka hujan. Ingin selalu kau pandangi dengan kagum, dan selalu kau nanti.”
Kamu tersneyum. Wajahmu menghangat. Sungmin oppa…
“Kalau nanti aku meninggal, kau tak perlu mengaisiku.”
Kamu memandang bingung.
“Karena…” Sungmin meraih tanganmu. “Karena… aku bisa terlahir kembali menjadi hujan dan menari-nari di sekitarmu, menjagamu, menemanimu. Selamanya aku akan melihat senyum bahagaimu dan kamu juga bisa lihat aku ada untukmu. Ingat, Kamu hanya perlu lihat sekelilingmu, ada aku.”
“Oppa…” matamu berbinar.
Itu pertemuan terakhir, juga ucapan terakhir. Karena saat pulang di hari itu, kecelakaan itu terjadi. Dan Sungmin… pergi bersama hujan yang mereda.
-end flashback-
***

Ingatan itu terhenti bersamaan dengan hujan yang turun deras di luar sana…
Kamu menyeka air matamu. ‘Apa benar kamu ada di sekitarku, oppa?’ Batinmu sambil menuju beranda kamar dengan membawa sebuah foto kesayangan. Sambil menangis tertahan, kamu peluk foto itu. Foto dirimu dan Sungmin yang tertawa bahagia.
Rinai hujan makin deras.
‘Apakah di antara butiran hujan ini ada dirimu, oppa?’ Batinmu lagi. Kamu menahan pilu. Kamu pun menatap foto yang kamu simpan hati-hati. Satu foto yang menyimpan kebahagian yang kini telah jadi kenangan.
Whuss…..
Angin kencang menerpa tubuhmu sekaligus menerbangkan foto yang kamu pegang ke rumah sebelah.
Segera kamu masuk ke dalam dan turun ke lantai bawah. Berniat mengambil foto yang jatuh ke bawah.
“Wae, Ha Neul-ah?” tegur Umma yang melihatmu.
Kamu tidak menjawab, terus saja melangkah ke luar.
“Di luar hujan. Nanti kamu sakit,” tegur Umma lagi.
Kamu sayup-sayup mendengar hal itu, tapi foto jauh lebih penting.
Kamu buka pintu pagar yang terkunci. Kamu tak perlu mengetuknya karena yakin rumah itu masih kosong. Kemarin saat kamu melintas, papan bertuliskan ‘RUMAH INI DIJUAL. JIKA BERMINAT HUBUNGI 08xxxx’ masih ada.
Kamu mencari foto itu di halaman samping, tepat diseberangnya adalah beranda kamarmu. Tidak ada. Kamu melangkah ke sisi lain, tak ada juga. ‘Ke mana perginya?’ Batinmu cemas. Dicari lagi ke sudut lain. Tak ada. Badanmu sudah basah oleh hujan. Kamu menuju sisi kanan, masih terus mencari. Dekat pagar samping rumahmu yang rendah, lembar putih terlihat. Cepat-cepat kamu mendekat. Benar, itu foto yang kamu cari. Untung masih belum rusak. Kamu peluk dengan erat foto itu lagi. Tanpa sengaja kamu melihat ke arah rumah kosong itu. Agak aneh karena beberapa jendelanya terbuka dan tirainya semua juga dibiarkan terbuka. Sekilas sosok di dalamnya terlihat, sedang membelakangimu. ‘Siapa? Apa… bayangan Sungmin oppa?’ batinmu aneh.
Sosok itu memutar tubuhnya. Kali ini menghadapmu.
Kamu menahan napas. Matamu membulat. Kaget. Sosok itu jelas bukan Sungmin. Karena postur tubuhnya yang kurus dan wajahnya terlihat seperti seorang yeoja. ‘Jangan-jangan… penunggu rumah ini…. Hiii….’ kamu bergidik ngeri. Cepat-cepat kamu keluar dari halaman rumah itu.
***

“Ya, Ha Neul-ah!! Kenapa kamu hujan-hujananan???” sambut Umma. Kamu tak menjawab. Jantungmu masih berdegup kencang, ketakutan.
Melihat wajah pucatmu, Umma menyentuh keningmu. Tak ada tanda-tanda demam. Kamu pun tak tampak menggigil.
‘Apa benar yang kulihat tadi penunggu rumah itu? Kalau iya, bagaimana aku tidur malam ini?’ Pikirmu semakin takut.
“Kenapa, sayang?” tegur Umma lagi sambil mengelus rambutmu yang basah.
“Ah… itu… ta-tadi lihat rumah sebelah… kayak a-ada orang…” ucapmu terbata.
“Rumah sebelah? Oh…” Umma tersenyum. “Umma belum kasih tahu kamu, ya? Rumah itu sudah dibeli. Sekarang kita punya tetangga baru. Katanya anaknya SMA juga.”
“Tetangga?” gumammu. Hhhff… ia lega sekali mendengarnya.
***

Kamu melangkah menuju pintu beranda kamarmu. Bermaksud menjutupnya karena sudah malam. Dari tempatmu berdiri, kamu bisa melihat kamar diseberang rumahmu yang kosong meski lampunya sudah menyala. Benda-benda yang memenuhi ruang kamar itu terlihat cukup jelas. Dari pernak-perniknya, terlihat kalau itu kamar cowok.
Hujan turun lagi.
“Aku ingin menjadi hujan karena kamu sangat suka hujan. Aku ingin selalu kamu pandangi dengan kagum, dan selalu kamu nanti.” Kata-kata Sungmin waktu itu terngiang lagi. Perlahan kamu bersandar di samping pintu. Menatap butir air yang jatuh lagi di depanmu.
“Kalau nanti aku meninggal, kau tak perlu menangisiku.”
‘Sayangnya aku tetap menangis, oppa…’ batinmu.
“Karena… aku bisa terlahir kembali menjadi hujan dan menari-nari di sekitarmu, menjagamu, menemanimu. Selamanya aku akan melihat senyum bahagaimu dan kamu juga bisa lihat aku ada untukmu. Ingat, kamu hanya perlu lihat sekelilingmu, ada aku.”
Rea ke berandanya. Mengulurkan tangannya pada hujan. Sungmin oppa, apa ini kau? Aku merindukanmu, oppa…
Sekelebat sosok diseberang terlihat masuk kamar. Mengambil sesuatu lalu duduk di tepi ranjang. Yeoja cantik yang tadi kamu lihat. ‘Apa dia pemilik kamar itu? Cantik, tapi suka hal-hal yang berbau cowok sepertinya.’
Seperti merasa diperhatikan, sosok diseberang sana menoleh ke arahmu. Lekas kamu mengalihkan pandanganmu dan beranjak masuk ke dalam. Menutup pintu dan tirainya tanpa berani melihat ke seberang sana […]
TBC

Gimana? Bisa nebak ga yang cantik itu siapa? Wkwkwkwk…
Di tunggu komentarnya ^_^

Sunday, January 2, 2011

Perjalanan Menulisku (cuma curhat)

For My friend, Nurdan, you can translate it with google translate if you want. Here, just story about how long I try to be a writer. How I down and up again. You are a part of my life story. Thanks a lot for your support and believe that I can do it. Thank you so much…
----
Perjalanan Menulisku
Oleh Imah_HyunAe

Aku tiba-tiba ingin mengenang masa lalu. Tentang perjalanan menulisku hingga saat ini.
Baiklah, kumulai saja. Bersiaplah untuk menggelengkan kepala kalian jika kalian rasa kisahku ini agak aneh, lucu, atau apapun yang kalian rasakan. Aku hanya ingin mengenang.
Aku pertama kali mengenal cerita fiksi kelas 2 SMP. Saat teman baikku bernama panggilan Ayu membawa novelette bonus dari sebuah majalah miliknya. Dia bilang ceritanya menarik. Aku membacanya, dan langsung terpesona. Betapa hebatnya penulisnya memainkan imajinasi kami. Dan dari situlah sebuah ide untuk ‘menulis’ itu muncul.
Aku dengan gaya bertuturku yang biasa, dan standar sekali merangkumkan satu novelette pertamaku yang kata Ayu, ‘bagus’. Novelette itu berjudul ‘Sebuah Kenyataan’. Teman-teman SMP-ku yang lain pun mendukung dan bilang, “Coba diteruskan lagi”. Akupun mencoba meneruskan namun gagal.
Cerita itu yang setelah kubaca beberapa waktu lalu nampaknya parah sekali, hahaha…
Di hari lain, Ayu datang ke sekolah dengan membawa majalah remaja diam-diam. Kalian sendiri tahu peraturan sekolah melarang kita membawa hal-hal diluar sekolah. Aku memperhatikan majalah itu dan tertarik apda ceritanya yang indah, lucu, sedih, bahkan aneh. Di majalah itu ada 7 cerpen. Wow…
Aku dan temanku berniat menulis cerpen dan saling menukarkannya. Aku menulis cerpenku di diari terbaik yang saat itu mampu kubeli. Tidak, terbaik bukan dalam arti mahal, hanya bentuknya yang lumayan besar dan warnanya yang kusuka, hehe… Ayu bilang ceritaku bagus. Padahal menurutku ceritanya lebih bagus. Aku masih terlalu ‘biasa’ untuk bisa di sebut seperti itu. Aku berhasil menulis 5 cerpen waktu itu. Yang setelah kubaca lagi, kembali menyadarkanku betapa ‘biasa’nya tulisanku waktu itu.
Aku resmi jadi penggemar majalah tersebut. Terbit sebulan sekali, membuat temanku yang bisa berhemat itu selalu membelinya dan aku meminjamnya, hehehe... Penulis-penulis di sana bagus sekali karyanya. Dan yang paling kusuka adalah karya S. Gege Mapangewa.
Karena ingin memiliki, minimal satu, aku memutuskan ikut menabung juga. Jadilah, kami sama-sama membeli majalah tersebut bulan berikutnya. Kemudian, ada satu niat di hatiku. Benar, menerbitkan ceritaku ke majalah tersebut. Apa salahnya mencoba, pikirku. Kubaca syarat-syaratnya dan hm… ternyata harus menggunakan computer. Aku mengangguk-angguk dan menyerah. Mengubur impian sederhana itu di sudut hatiku karena keluargaku tak punya komputer. Hingga akhirnya, saat kelas 3 SMP, ayahku membeli komputer. Aku gembira sekali. Akhirnya…
Aku pun mempelajari Ms. Word. Lumayan bisa. Jadi, mulailah aku mengetik. Lalu menge-print-nya. Dan niat yang terkubur selama ini muncul kembali.
Aku kembali membaca sarat-syarat di majalah remaja itu yang saat itu sudah terbit menjadi dua minggu sekali. Tulisan ‘times new roman’, aku tahu. Kurubah format tulisanku jadi ‘times new roman itu’. Lalu yang kedua huruf 12pt. Bingung, kutanya dengan ayahku, lalu berubahlah ukuran hurufku menjadi 12. Yang ketiga spasi 2. Apa itu?
Bingung, aku bertanya lagi. Kata ayah, spasinya dua kali. Kupikir waktu itu spasi antar kata. Jadilah ku tekan dua kali setiap kali mau memisahkan kata dengan kata. Ku kirim. Dan tak dimuat.
Kenapa? Apa ada yang salah syaratnya? Atau tulisanku sejelek yang kupikirkan?
Hm… waktu itu, aku masih tidak tahu apa-apa. Aku mengubah formatnya lagi. Mungkin maksudnya spasi bukan antar kata. Dan dengan sok tahu aku mengubahnya jadi dua kolom (yang kuyakini dua spasi waktu itu). Mengingatnya serasa ingin tertawa. Betapa tak tahu apa-apa diriku ini.
Ku kirim lagi, dan jelas saja gagal.
Kutanya lagi dengan ayahku. Dia bilang spasi itu jarak antar baris. Aneh… biasanya kita menyebut spasi kan untuk antar kata, pikirku sok tahu lagi. Kucoba saja, tak ada salahnya kan?
Lagi-lagi, gagal. Bosan, aku memilih tak menulis lagi.
Aku vakum untuk beberapa bulan. Hingga akhirnya aku berada di SMA.
Kelas X SMA, gara-gara buku paket latihan bahasa Indonesia ada cerpen remaja yang pernah dimuat di Koran Kompas, aku jadi bersemangat lagi. Ceritanya remaja seperti itu, masa aku tak bisa, pikirku. Aku menulis lagi dan mengirimkannya sekali ke majalah remaja lain. Tak ada jawaban. Aku tahu aku ditolak, namun setidaknya aku sudah mencoba. ^_^
Aku masih menulis, namun tak di komputer lagi, di buku tulis yang bergambar dan berwarna warni. Komputer ayahku rusak waktu itu.
Kelas X SMA aku cukup produktif. Di buku tulis 1 aku berhasil menulis 3 cerita dan yang paling disukai teman-temanku adalah ‘Belalang vs Kumbang’. Yah, mereka boleh membaca karyaku asal memberi kritik atau saran. Hanya beberapa, yang lainnya memuji. Dan aku berterima kasih sekali atas kebaikan hati mereka, meski jauh lebih baik kalau mereka mengatakan kekuranganku.
Di buku kedua, ada 4 cerita. Dan yang paling mereka sukai adalah ‘Memosies of Rain’. Salah seorang dari mereka mengusulkan agar aku mengirim ke majalah. Aku melakukannya dan harus berusaha tersenyum untuk kegagalanku yang kesekian kalinya. Dibuku ketiga ada 4 judul. Teman-teman yang membaca sangat suka pada cerita “Pilunya Tahun Baru’.
Aku selalu bilang pada mereka jangan memujiku, karena kau takut aku merasa aku hebat. Sedangkan majalah jelas-jelas menolakku. Mereka malah membantah, “Memang bagus! Kami nggak bohong..” aku tersenyum mendengar kata-kata mereka. Untuk kalian teman-teman SMA yang membaca ceritaku, terima kasih banyak. Kalian salah satu kekuatan hingga aku bisa masih terus berkarya waktu itu.
Kelas XI SMA fokusku berubah. Aku lebih ke novel. Ada tiga judul novel yang sebenarnya sudah kutulis namun belum juga tamat (Salah satunya baru kuselesaikan bulan kemarin untuk dilombakan pada lomba cerpen di Leutika Prio).
Masuk ke kelas XII SMA fokusku berubah ke novelette dan cerpen. Untuk novelette, dengan halaman yang hanya di atas 50 aku nekat mengirimnya ke penerbit. Salah satunya, yang kukirim ke Elex Media berjudul ‘Cantik, I’m Coming!!!’ (sudah kuedit habis-habisan dan bulan kemarin kupost di blogku. Bayangkan dua setengah tahun baru aku berani mengedit tulisan itu, hehe….), mereka menjawabnya tiga bulan kemudian melalui surat. Mereka menyatakan pasar buku mereka saat ini sedang fokus pada kisah nyata. Aku mengerti dan lega. Lega karena mereka memberi jawaban pasti tentang naskahku yang tidak diterima mereka dengan bahasa halus. Sedangkan penerbit lainnya, tak menjawab sama sekali. Aku menunggu hingga setahun tak ada jawaban. Aku pun memvonis itu sebagai penolakan.
Ibu sempat bilang, “Menulis terus. Sudahlah, berhenti saja. Tak mungkin juga diterima.”
Aku sedih. Namun masih berusaha dengan sisa harapan yang kumiliki.
Di cerpen, aku nekat mengirim ke banyak majalah. Ada empat majalah kalau tidak salah. Dua cerpen yang kukirim kembali ke tanganku, karena sepertinya majalah itu bangkrut. Sedangkan yang lainnya tak terdengar kabarnya.
Aku sama sekali tak berharap, hingga enam bulan kemudian, saat aku jalan-jalan ke area pasar, Pak Pos melihatku dan bilang, ada kiriman untukku. Aku terkejut. Kiriman apa? Aku tidak memesan buku. Kupikir temanku yang melakukannya karena dia memang biasa memakai alamatku, sebab lebih mudah dicari.
Siapa sangka kiriman itu berupa uang. Aku terharu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku naskahku diterbitkan dan untuk pertama kalinya juga aku menghasilkan uang dengan tulisanku. Ibu tersenyum melihat honor yang kuperoleh.
Dalam hati aku berkata, “Lihat kan, Bu? Anakmu ini bisa!”
Waktu berlalu dan karyaku hanya satu itu saja yang berhasil kuterbitkan, hehe... Aku kuliah dan tak bisa mengetik karena komputer tak punya. Fokusku selama 1 semester hanya belajar, membaca novel, dan mendengarkan radio. Aku tidak punya tv waktu itu. Kata ibu nanti saja kalau adikku sudah kuliah.
Hatiku tergerak lagi untuk menulis saat membaca novel ‘17th Years of Love Song’ dari Orizuka. Aku salut pada kakak yang satu ini karena berhasil menulis karya dan sekarang sudah meluncurkan novelnya yang ke-12. Kapan ya aku seperti dia?
Kembali ke topic awal, aku menulis lagi. Novel yang lagi-lagi tidak selesai.
Semester 3 akhirnya komputer boleh di bawa ke sini, ke kota tempatku kuliah. Fokusku tak lagi di cerpen dan novel, karena berkat Rima, aku mengenal FanFic di semester 2, dan mulai menggeluti hal itu di semester 3. Cukup banyak yang menyukainya, hingga akhirnya salah-satu teman, Mursidah Zein, menawarkanku jadi author tetap di grup Fanfic Lover.
Aku sendiri menyadari gaya penulisanku yang cenderung mellow dan sad ending. Mungkin karena aku juga menyukai tulisan jenis itu. Aku jadi terus terkenang dengan ceritanya, dan kuharap merekapun begitu, hehe…
Masuk semester 4, aku mulai mengenal blog dari Halisa, teman sekampusku. Aku mem-posting ceritaku, terutama FanFic di sana. Dan berharap banyak yang mengunjunginya. (kalau mau kunjungi saja http://hyunae19.blogspot.com/ atau http://imah20.wordpress.com/ ada banyak cerita dan FanFicku di sana *promosi*)
Aku menyadari tulisan-tulisanku mulai membaik. Dan berniat mengirimkannya lagi. Kebetulan ada lomba. Aku mengikutinya di semester 4 lalu, dan sayangnya harus gagal lagi karena cerita yang kupilih terlalu sinetron dan juga marginnya salah. Sebenarnya bukan penuh salahku, karena di web yang mengadakan lomba di tulis 5 cm marginnya. Eh, tak tahunya setelah ku kirim, marginnya berubah jadi 2 cm. Dan lagi-lagi, ibu bilang, “Sudahlah, jangan menulis lagi. Membuang waktu dan uang saja. Lebih baik belajar. Kalau memilih menulis, berhenti saja kuliah.”
Aku diam saat itu. Menahan iar mataku. Mungkin buat kalian ini hal sepele, tapi buatku, ini hal berat. Menulis adalah hidupku. Napasku. Aku bahagia bisa menuliskan apa yang kubayangkan karena tak semua orang bisa melakukannya. Dan ibu memandangku tak bisa.
Aku kecewa, sedih, dan terluka. Aku mengalami penurunan semangat. Kurasa itu pula yang dialami penulis pemula lainnya. Di semester 5 aku mulai malas menulis. Sibuk mencari video dan berpikir, apa sebaiknya kulakukan? Aku merasa aku telah gagal dari awal di dunia kepenulisan.
Nyaris menyerah dan membuang cita-cita tertinggiku, “Jadi Penulis Hebatl” Penulis dalam artian bukunya di terbitkan. (Kalian tahu, hal yang selalu kubayangkan ketika ke toko buku, karyaku ada di rak mereka. Entah kapan hal ini akan terjadi). Tidak di sangka, aku bertemu dengan novel ‘Surat Kecil Untuk Tuhan’ yang melejit saat ini. Duo penulis ini berhasil membukukan karya mereka karena kunjungan ke blog mereka yang begitu banyak. Wajar, ceritanyapun sangat menyentuh.
Aku sedang putus asanya saat itu, hingga ketika kubaca “Ayo kirimkan suratmu pada Tuhan.”
Apa salahnya? Aku ingin bertanya dengan cara lain, tidak apa-apa kan?
Akupun menulis suratku dan membacakannya dalam shalatku. Aku berdoa, “Tuhan, jika menurut-Mu saya tak layak mengusahakan diri ada di dunia kepenulisan ini, mohon jauhkanlah. Tapi jika Engkau merasa saya layak, mohon permudahkanlah…”
Seperti mendapat jawaban dari-Nya dengan perantara teman-teman. Dari Eka, teman SMA-ku yang kuliah di bahasa Indonesia, dia mengatakan kalau Koran Tabengan menerima naskah cerpen. Dia bilang datang saja ke redaksi dan bawa naskahku. Karena tidak tahu di mana, aku sampai sekarang tidak ke sana, hehe…
Lalu yang kedua, dari Risty. Dia bilang ada lomba novel dari Leutika Prio. (terima kasih untuk infonya, dongsaengku ^_^). Aku kembali menulis dengan semangat, padahal bulan ini aku ujian, hehe…
Aku menyelesaikannya sekitar 10 hari, karena kerangkanya sudah ada. Novel yang kubilang tidak selesai kutulis saat SMA, hehe… sudah kukirim *mohon doakan aku*. Dan resmi kuberi judul, sesuai saran dari Rima ‘A Story of Life, Lie, and Love’.
Aku kembali jatuh karena merasa aku tak mampu. Aku merasa karyaku sudah yang terbaik yang barhasil kutulis, namun juri belum tentu berkata sama. Aku takut, tegang, dan cemas jika ini kegagalanku yang kesekian kalinya lagi. Membayangkannya pun air mataku sudah tak mau keluar. Mungkin sudah terlalu kering.
Dan Nurdan, soerang teman jauh yang kukenal di FB mengatakan kalau kau bisa. Aku berterima kasih atas kepercayaannya padaku dan kata-katanya yang menyemangatiku. Sekali lagi, terima kasih Nurdan.
Tuhan memang selalu di dekat kita. Saat aku jatuh, Dia seperti membimbingku bertemu dengan halaman grup Simpel (bagi yang mau gabung tinggal klik di bagian nama Simpel yang kutag, juga Leutika Prio, mereka satu bagian). Aku bertanya di dinding mereka,
“Jadi penulis harus percaya diri, tak mudah menyerah. Tapi kalau sudah mencoba sekian tahun dan tetap gagal, wajarkah memilih menyerah?”
Simple menjawab dengan bijaknya, “Kenapa Imah harus memutus usaha yang sudah dirintis selama bertahun-tahun? Ketika Imah sudah mencoba menembus media/penerbit dalam tempo sekian lama, sebenarnya Imah sudah tidak lagi berada di level 0, tapi sudah masuk di level 4 atau 7.
Nah, kenapa harus berputus asa? Bukankah ketika Imah berputus asa, kemudian mencoba bidang lain, Imah akan menempuhnya dari nol. Sedang dalam bidang menulis ini, (sekalipun gagal) Imah sudah masuk di level 4. Hayo,lebih dekat mana 4 atau 0 untuk mencapai angka 10?
Pernah dengar ungkapan Leo Tolstoy, ‘Tuhan tahu tapi menunggu’.
Mari terus mencoba, sejauh Imah yakin dan potensi diri masih ada, Tuhan akan mengijabahkan…” (kata-kata ini kusadur dan kuberikan padamu Risty, agar kamu tetap semangat)
Aku masih mengeluh, “Merasa terlalu lelah… Susah payah bangkit, berusaha lagi, tapi jatuh lagi. Makin down saat orang tua bilang ‘yang kamu usahakan ini sia-sia’. Ingin buktikan kalau mereka salah, tapi sudah tak bertenaga. Mungkin benar, saya sudah di level 4, tapi mungkin buat mereka itu tak berarti apa-apa.”
Simple menjawab, “… Menghargai proses, memasrahkan hasil. Semoga Imah menemukan semangatnya kembali. Dengan cara, mari menuliskan segala keluh tersebut…”
Aku merenung seharian. Dan akhirnya, semangatku sedikit demi sedikit kembali. Aku menyadari satu hal lagi, penulispun membutuhkan dorongan dan dukungan dari orang lain. Jadi, terima aksih banyak buat teman-teman SMP, SMA, kuliah dan teman facebook yang senang dengan karyaku. Terima kasih banyak telah menjadi oase dari perjalanan melelahkanku. Terima kasih banyak.
Lalu, atas kuasa-Nya, kembali, Risty *memang baik sekali kamu, Ris T_T*, memberi info lomba cerpen. Aku dan dia sama-sama mengikutinya. 127 cerpen yang ikut dan hanya 5 yang dicari. *mudah-mudahan kami berhasil, amin*
Benar, Tuhan tahu, namun menyuruhku menunggu. Sekarang tingal menunggu hasil. Kalau gagal (semoga tidak), pilihan ada di tanganku. Aku bisa menerbitkan sendiri karyaku dengan paket penerbitan yang Leutika punya. Atau jalan yang selalu di tempuh penulis lain, mengirimkannya ke penerbit.
Aku tahu, “Tuhan memberi apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.”
Terima kasih, Tuhan, sudah mengirimkan orang-orang yang kubutuhkan, teman-teman yang jadi pembaca setiaku.
Untuk teman-teman dan pembaca karyaku, kunjuangan, komentar, baik itu kritikan, pujian, atau sekedar kalimat pendek, atau juga sekedar minta tag lagi, kalian adalah udara yang bisa memompa semangatku. Aku tak akan bertahan jika tanpa kalian. Terima kasih banyak. Untuk Lia (yang selalu memberi komentar di ceritaku. Maaf aku jarang mengomentari milikmu. Maafkan aku hehe…), Eka (yang selalu menunggu kelajutan FF Begin, maaf belum kulanjutkan), Rima (atas kritikan dan kejujurannya yang mengatakan tulisanku lebih baik dari novel yang kamu baca kemarin), Dina (atas kesukaannya pada tulisanku yang mellow), Risty (atas info-info lombanya dan juga pujiannya ^_^), Nurdan (thank you for your support), Dhimas (yang selalu bertanya kapan terbit), Fahmi (yang mengamini harapan SMP-ku ini), Astri (yang selalu ingin baca, tapi malas kasih komentar), Halisa (atas info blognya dan sudah bersedia baca karyaku, meski belum sempat kamu baca sampai selesai), Indah (yang tiba-tiba menyemangati), Zein (atas kepercayaannya memintaku jadi salah satu author di grup ^_^) Lili Yanti (yang selalu mendukungku dari SMP ^^), Ayu (yang selalu memuji padahal karya dia lebih baik dariku), Ipur, Atun, Isti, Herlina, Engkis, Vita (atas saran dan kritik kalian seriap kali membaca karyaku ) dan teman-teman lainnya yang tak bsia kusebutkan namanya satu persatu yang selalu membaca karyaku ini. Terima kasih banyak. ^_^
Salam hangat Imah_HyunAe