Sunday, January 23, 2011

Cerpen 'Skies of Love' oleh Syahidah Amaniya

Ini tulisan Mbak Syahidah (salah satu admin dari HSWC-Heart and Soul Writing Community).
Saya yang kasih
paragraf pembuka:
Mata biru itu menatapku tajam. Menusuk hingga ke palung hati. Nyeri sampai menggigit tulang. Membekukan aliran darahku yang semula lancar. "Apa salahku?" aku bertanya dengan napas tercekat.

Dan penutupnya:
Alex mendorong kursi rodaku. Ia baru berhenti saat memasuki rumah kaca yang membuatku terpana. Ada banyak bunga krisan putih, kuning, dan merah, di sana. Bunga kesukaanku. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum manis dan berkata lembut, "Hadiah untukmu, My Princess. Selamat datang kembali."

So, dibuat Mbak Syahidah jadi sebuah cerpen yang menyentuh hati Saya. Saya jadi pengen punya suami kayak Alex, pengertian anget T_T

Udah deh, met baca aja ^^
=================================================================

Skies of Love

Mata biru itu menatapku tajam. Menusuk hingga ke palung hati. Nyeri sampai menggigit tulang. Membekukan aliran darahku yang semula lancar. "Apa salahku?" aku bertanya dengan napas tercekat.
“Tidak ada.” Jawab Alex, si pemilik mata biru itu. Suaranya nyaris sedingin es di puncak Andermatt. “Hanya saja sepertinya kau lebih mencintai langit biru, tebing-tebing dan puncak-puncak gunung yang kau daki selama ini. I’m nothing for you.”
Oh, I hate it.
Bahuku seketika merosot membuat The North Face biru yang sedari tadi bertengger di sana terbanting jatuh ke lantai. Untung aku masih cukup waras untuk tidak menjatuhkan tas slempang berisi kamera Nikon D3x, Nexus dan Seacams housings yang tersampir di bahuku yang lain.
“Itu tidak benar, Al. Aku tidak terima. Kau terlalu berlebihan.” Sergahku cepat. Buru-buru aku meletakkan properti fotografiku di rak buku terdekat.
“Berlebihan?” Kilatan mata biru Alex kini terasa menampar wajahku. “Berapa kali kau ada untukku dalam tiga bulan ini, huh? Kau bilang tak punya waktu untuk menemaniku membeli kado ulang tahun Mom, tapi anehnya, kau selalu punya waktu untuk ekspedisi ke Himalaya, Yosemite, Mont Blanc dan entah apalagi. Apakah menurutmu aku berlebihan?”
“Oh, Honey. Please. Aku tidak ingin bertengkar soal itu lagi.” Sepasang mataku memandang Alex dengan tatapan memohon. Lagi-lagi urusan pekerjaan membuatku terpaksa bersitegang dengan pria terkasih ini.
“Jujur, aku tidak ingin bertengkar denganmu, Aud.” Alex bangkit dari sofa setelah melemparkan New York Times-nya ke atas meja. “Selama tiga bulan terakhir ini aku benar-benar kehilangan Audrey-ku.”
Kepalaku menggeleng cepat.
“I’m yours, Al. Akan seperti itu selamanya.”
“Tidak.” Alex berpaling, enggan menatapku. “Jangan bercanda. Bukankah selama ini aku hanya memilikimu dalam web cam laptop atau layar BlackBerry? Kau jauh lebih sibuk daripada Annie Leibovitz.”
“ALEX!” kutarik paksa lengan Alex, mencegahnya berlalu dari hadapanku. “Tolong berhenti menyudutkan aku. Kau ...”
“What?” Alex menarik tangannya sengit. “Kau mau bilang aku tidak memahami kehidupanmu?”
“Itu kenyataan.”
“Lucu. Coba ingat baik-baik, Aud. Pernahkah aku protes saat kau lebih memilih pergi ke Kilimanjaro di hari wisuda pasca sarjana-ku? Apakah aku melarang saat kau ingin ikut serta dalam ekspedisi ke Karakoram di hari pertamaku masuk kerja? Ingat, aku bahkan tidak keberatan ketika kau lebih menginginkan bulan madu di Alpen daripada mengikuti saranku pergi ke Maldives. Tell me. Bagian mana yang tidak kupahami soal kehidupanmu?”
Mataku benar-benar basah sekarang. Selama dua puluh tahun kami bersahabat sebelum akhirnya menikah, tidak pernah sekalipun kulihat Alex semarah itu. Seperti ada ribuan jarum menusuki dadaku. Benarkah ini Alex yang kunikahi enam bulan lalu? Alex yang kalem dan tidak banyak tingkah. Alex yang lebih suka merawat taman bunga di waktu luangnya. Alex yang selalu tersipu saat kutatap mata birunya. Pria inikah?
“I’m sorry, Aud.” Tegasnya. “Ini sama sekali bukan kehidupan yang ingin kujalani bersamamu.”
Kulihat Alex menyambar jaketnya dari gantungan di belakang pintu. Tangisan yang sedari tadi kutahan mati-matian pecah bersamaan dengan gerakan tangan Alex yang memutar handel pintu. Dan sejak kapan travel bag Alex terserak di dekat pintu?
God! Jangan biarkan itu terjadi!
“Alex! No.” Seperti kesetanan aku berlari ke pintu dan memeluk tubuh tegap Alex dari belakang. “Alex, jangan pergi. Please don’t leave me, Sweetheart.”
Alex membeku sesaat hingga aku bisa mendengar suara degup jantung dari balik punggungnya. Aku menangis antara kesal dan tidak siap kehilangan Alex. Tidak. Selain karena kematian, kurasa aku tidak akan pernah siap kehilangan dia. Kehilangan Alex berarti aku kehilangan separuh jiwa yang selama ini selalu menjadikanku utuh.
“Alex? Alex, please say something.” Aku tersendat sambil membenamkan kepala di bahunya.
Alex mencengkram ambang pintu kuat-kuat. Dia menghela nafas panjang beberapa kali sebelum akhirnya berkata lirih, “Sekali ini saja, maukah kau melakukan sesuatu untukku, Aud?”
“Ya. I will.” Aku mempererat pelukanku di pinggang Alex.
“Aku ingin kau berhenti dari pekerjaanmu.” Sahut Alex.
Huh?
Aku terkesiap dalam posisi masih memeluk Alex. Apa katanya tadi? Dia ingin aku meninggalkan karir fotografiku di Adventure Magazine? Ya ampun. Padahal aku memerlukan rekomendasi redaksi majalah itu untuk mewujudkan cita-citaku menjadi fotografer National Geographic.
“Are you serious, Hon?” Aku menarik kepalaku dari bahu Alex.
“Kau mau?” Alex balik bertanya.
Tuhan, ini keputusan sulit. Bagaimana jika aku menginginkan kedua-duanya? Aku ingin Alex selalu bersamaku tapi aku juga tak ingin kehilangan pekerjaanku. Tidak setelah aku menjelajahi hampir separuh dunia untuk demi mendapatkan foto-foto nominasi Pullitzer.
“Audrey?” suara Alex terdengar tidak sabar. “I need your answer.”
Kurapatkan tubuhku pada punggung Alex, berusaha menghimpun kekuatan untuk menjawab pertanyaannya.
“Tolong beri aku waktu tiga bulan, Al.” Ujarku susah payah. “Setidaknya kau harus menunggu sampai kontrak kerjaku berakhir.”
Alex tertawa sinis. Dia melepaskan tanganku dari pinggangnya.
“Kau tidak ingat? Aku telah memberimu waktu bertahun-tahun, Aud.” Cecarnya. “Aku tidak ingin menunggu tiga bulan lagi untuk mendapatkan kehidupan normal itu. Kau yang memutuskan, bukan aku.”
Kemudian segala sesuatunya terjadi begitu cepat. Alex menyambar travel bag-nya dari ambang pintu. Tanpa berkata sepatah pun, dia melesat ke garasi dan pergi begitu saja membawa semua kesal dan kecewa di mata birunya.

***

Tebing Shawangunks, 1,5 kilometer dari NYC.
Aku membidikkan kamera Mamiya 365 berlensa 33 mm ke arah Wallkill River Valley dan Mid Hudson Valley di kejauhan. Seutas tali kernmantel dinamis berwarna ungu terhubung pada screw gate carabiner di harness-ku. Memotret dari ketinggian seperti ini sudah sering kujalani. Aku sudah terbiasa melakukannya sejak Dad membawaku hiking ke Yosemite di usia lima belas. Sejak itu, aku jatuh cinta pada alam bebas. Aku selalu terpesona menyaksikan langit biru di musim panas dan matahari terbenam di musim gugur. Di ulang tahunku yang kedelapan belas, Alex memberiku sebuah kamera Olympus yang menjadi cikal bakal karirku di dunia fotografi.
Alex yang manis. Dia rela menguras habis tabungannya demi membelikanku kamera itu. Aku tak bisa berhenti tersenyum saat itu karena bahagia luar biasa.
“Supaya kau bisa menyimpan langit biru dan matahari terbenam itu.” Kata Alex saat menyelipkan kamera itu dalam genggamanku.
Kalau aku harus memilih dua laki-laki yang paling kucintai di dunia ini, maka aku pasti tanpa ragu memilih Dad dan Alexander Vahradian, my sweet Alex. Selamanya.
“You okay up there, Hepburn?” suara keras Joacquin, co-photographer-ku, menyadarkanku dari lamunan.
“I’m okay, JoJo.” Sahutku sambil menjepretkan kamera untuk terakhir kali. “Oke, aku turun.”
Joacquin tersenyum lebar melihatku melorot turun dari ketinggian tebing Shawangunks. Segera setelah kakiku menjejak tanah, kulepas helm Petzl kuning dari kepalaku dan memutar kunci screw gate carabiner yang menghubungkan tubuhku dengan tali pengaman.
“Got your Pullitzer, huh?” candanya.
Aku mengedikkan bahu.
“Ini. Lihat saja sendiri.” Kuangsurkan Mamiya 365 yang sedari tadi terkalung dalam tas khusus kamera di leherku pada Joacquin. “Moodku sedang jelek hari ini.”
Aku tidak bohong. Setelah pertengkaranku dengan Alex semalam, segala sesuatu di depanku tampak seperti potret hitam putih tak bernyawa. Aku tidak tahu dimana Alex saat ini. BlackBerry-nya dimatikan sejak semalam, Aku bolak-balik menelpon ke rumah orang tuanya, tetapi selalu ibunya yang menjawab, mengatakan Alex tak ada di rumahnya. Sekretaris di kantornya mengatakan Alex mengambil cuti seminggu.
Where are you, Sweetie?
“Well, foto-foto ini terlihat dramatis.” Joacquin sibuk mengamati LCD kameraku selama beberapa saat. “Tidak seperti kebanyakan foto-fotomu yang liar dan bebas.”
“Sudah kubilang mood-ku sedang jelek hari ini.” Cetusku sambil menempelkan ponselku ke telinga. Mencoba menelpon Alex untuk kesekian kalinya. Gagal. BlackBerry-nya masih tidak berfungsi.
“Kau tak perlu jadi galak begitu, Hepburn.” Joacquin menertawai tampangku yang kesal. “Tenang saja. Dengan sedikit efek computer, kesan dramatis ini bisa dihilangkan.”
“Aku tidak mau.” Sahutku cepat. “Aku ingin foto natural tanpa efek computer apa pun itu. Baiklah, aku akan memanjat ke atas sekali lagi.”
“Hepburn, kau sudah berada di atas sana sepanjang hari.” Joacquin buru-buru mencekal bahuku. “Percayalah. Foto-fotomu sangat bagus.”
“Tolong berhenti memanggilku Hepburn. Namaku Audrey Vahradian.” Kataku sengit. Kurebut kamera di tangan Joacquin dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Tanpa memedulikan sinar protes di matanya, kuselipkan simpul figure of eightke carabiner lalu menguncinya.
“Lihat, kru lapangan telah melepaskan seluruh pengaman sisip dari dinding tebing.” Joacquin menunjuk ke arah tebing yang menjulang setinggi lima puluh meter di depan kami. “Sudah hampir waktu makan siang. Kau bahkan tidak sempat sarapan tadi.”
“Sebentar saja.” Aku berkeras lalu mulai menggantungkan serangkaian pengaman sisip dan runner pada harness. “Tenanglah. Aku sudah terbiasa memasang pengaman sisip. Lagipula aku tidak bermaksud memanjat sampai ke puncak tebing. Tapi aku memerlukanmu untuk jadi belayer.”
“Audrey, jangan memanjat bila mood-mu sedang tidak bagus.” Joacquin menatapku sangsi. “Aku bisa membawamu kemari lagi besok.”
Aku mengangkat bahu.
“Siapa yang bisa menjamin cuaca akan secerah ini besok? Kau?” Aku melempar sebuah harness ke tangan Joacquin. “Ini bukan masalah mood, Joacquin. Ini masalah fotoku. Profesionalitasku.”
Joacquin memakai harness-nya setengah hati. Perdebatan seperti ini sering terjadi antara aku dan Joacquin. Sebagai senior, aku selalu berhasil memenangkan perdebatan semacam itu. Juga kali ini.
“Oke, jangan memanjat lebih dari lima belas meter.” Joacquin mengacungkan telunjuknya padaku.
“Tidak bisa. Setidaknya aku harus memanjat setinggi dua puluh meter.”
“Lima belas. Atau kau terpaksa memanjat tanpa belayer.” Tandas Joacquin, enggan memberiku pilihan.
Setelah tawar menawar disepakati, aku mulai memanjat naik tanpa kesulitan berarti. Tebing Shawangunks sudah seperti playground bagiku. Aku cukup sering memanjat tebing ini bersama Dad dulu. Aku juga pernah satu kali mengajak Alex ke tempat ini, tetapi dia trauma datang kemari setelah menyaksikan aku jatuh menghantam permukaan tebing sejauh dua setengah meter. Aku tidak terluka serius tapi Alex sangat shock setiap kali mengingat kejadian itu.
“Ya, Tuhan. Kau tidak apa-apa, Aud? Kau nyaris membuatku terkena serangan jantung.” Katanya cemas dengan wajah sepucat lilin.
Mengingat Alex membuat mataku basah seketika. Benarkah aku telah sedemikian egois padanya? Tiba-tiba rasa sakit yang amat sangat menghantam ulu hatiku. Seperti inikah yang dirasakan Alex saat aku meninggalkannya berhari-hari? Sangat pedih dan nyeri.
Alex, kau dimana, Sayang?
Aku berhenti memanjat setiap kali mencapai ketinggian dua meter, memasang pengaman lalu kembali memanjat, sedapat mungkin menjauhkan bayangan Alex dari pikiranku. Terus dan terus hingga aku mencapai ketinggian sepuluh meter. Aku baru saja akan memasang pengaman pengaman kesekian ketika rasa sakit hebat menguasai tubuhku.
Ada apa ini? Pengaman sisip yang kupegang jatuh terbanting ke tanah di bawahku. Pandangan mataku tiba-tiba memburam dan berangsur-angsur berubah menjadi hitam pekat. Aku tak bisa melihat apa pun. Sebelum jatuh pingsan, aku merasakan tubuhku melayang sesaat lalu dunia di sekitarku hanyalah gelap dan sunyi.

***
Lennox Hill Hospital
Menjelang senja.
Aku tersadar di pembaringan rumah sakit dengan seluruh tubuh nyeri, terutama bagian perut dan kaki kananku. Sambil mengernyit menahan nyeri, aku memaksa kedua mataku untuk terbuka sepenuhnya. Hal pertama yang kulihat adalah sepasang mata biru yang menatapku cemas sekaligus penuh rasa syukur.
“Audrey? It’s me, Sunshine.”
“Alex?” Mataku melebar tak percaya. “Is it … is it … really you?”
Alex mengangguk dengan mata penuh air.
“I’m sorry.” Dia tergugu sambil menggenggam tanganku seerat yang dia bisa lakukan. “Mestinya aku tak meninggalkanmu malam itu, Honey. Aku kembali ke rumah siang ini dan mendapati pesan Joacquin di answering machine. Katanya kau jatuh pingsan di Shawangunks. Aku benar-benar menyesal meninggalkanmu. Aku tak akan bisa memaafkan diriku bila … bila …”
“Ssshhh.” Kutarik Alex mendekat hingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti. “Itu bukan salahmu, Al.”
Alex menggeleng sambil mengusap wajahku yang dibasahi air mata.
“Aku yang salah.” Tegasku setelah berhasil mengingat apa yang terjadi. “Aku mengalami kram perut dan … alright, kurasa radang lambungku kambuh. Aku … aku sangat sedih kau pergi malam itu. Kau tahu, kalau aku sedih aku tidak berselera makan. But, it’s not your mistake anyway.”
Alex membungkuk dan mencium keningku yang terbalut perban.
“You’ll be okay.” Katanya lembut. “Selain kaki kananmu yang patah dan radang lambung itu, dokter bilang kau baik-baik saja.”
Selama beberapa menit selanjutnya aku dan Alex hanya saling berpandangan dalam keheningan. Kubiarkan detik-detik berlalu dengan menatapi kerlip bintang di mata biru pria terkasihku itu, merasakan pancaran hangatnya yang menjalari hatiku. Baru kusadari, sudah lama aku tidak menatap Alex seintens ini. Aku bahkan lupa bila aku selalu jatuh hati setiap kali menatap matanya. Sepanjang karirku, aku telah melihat langit malam dan bintang di berbagai belahan bumi, namun tak ada langit yang sebiru dan secemerlang mata Alex yang menatapku penuh kasih.
“Sebenarnya kau kemana semalam?” aku tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku setelah hampir sehari penuh kehilangan Alex.
“Di terminal bus.” Alex mengembangkan seulas senyuman. “Tadinya aku berniat pulang ke New Jersey, tapi pada akhirnya yang kulakukan hanya duduk semalaman memandangi bus yang datang dan pergi.”
“Maafkan aku, Al …” Airmataku kembali menganak sungai di pipi. Rasa bersalah membanjiri hatiku tatkala membayangkan Alex duduk semalam suntuk di terminal dengan hati remuk redam akibat keegoisanku. “Aku tak menginginkan petualangan lagi setelah ini.”
Alex mengernyit.
“Kau yakin?” dia menyelidik ke dalam mataku.
“Ya.” Aku mengangguk. “Karena petualanganku yang sesungguhnya adalah bersamamu menjalani kehidupan ini. Sampai aku tua nanti. Aku ingin terbangun di pagi hari di sampingmu, berdansa di dapur bersamamu, dan, hei … sudah berapa lama aku tidak menengok rumah kaca di halaman belakang?”
“Lama sekali.” Alex tertawa. “Kurasa bunga-bunga itu merindukanmu, Sweetheart.”
“Benarkah?”
“Kau dulu selalu memotret mereka setiap pagi dan petang. Ingat?” Alex mencium keningku sekali lagi. Kali ini lebih lembut. “Istirahatlah. Kita akan bicara lagi besok. Hm?”

***
Lima hari selanjutnya benar-benar menjadi milikku dan Alex. Dia menemaniku sepanjang hari di rumah sakit, membacakan buku untukku dan membawaku berkeliling taman rumah sakit dengan kursi roda. Aku belum pernah merasa sebahagia itu sebelumnya. Saat aku tertawa, Alex akan ikut tertawa bersamaku, membuatku merasa seperti wanita tercantik di dunia.
Tepat di hari keenam, aku diijinkan pulang. Alex diam-diam menyembunyikan sesuatu dariku. Sepanjang perjalanan pulang dia hanya tersenyum misterius sambil sesekali mengedipkan matanya ke arahku.
“Apa kau menyembunyikan sesuatu, Al?” aku menggamit lengan Alex saat mobil kami bergerak memasuki halaman.
“Menurutmu bagaimana?” Dia menyimpan senyum.
“Menurutku kau sedang membuatku sesak nafas.” Sahutku setengah mengomel karena terlalu penasaran.
Di luar dugaanku, Alex tergelak. Senang melihatku penasaran setengah mati. Segera setelah mobil kami berhenti di depan garasi, dia mematikan mesin mobil dan turun lebih dulu untuk mengeluarkan kursi rodaku dari bagasi.
“Sejak kapan kau suka menyimpan rahasia seperti ini, Al?” Gumamku gemas saat Alex menggendongku menuju kursi roda.
“Sejak kau memutuskan untuk bertualang bersamaku.” Alex menghadiahiku senyum malaikatnya. “Oke, kau siap memulai petualangan denganku, Aud?”
“Why not?” Balasku juga sambil tersenyum.
Alex mendorong kursi rodaku. Ia baru berhenti saat memasuki rumah kaca yang membuatku terpana. Ada banyak bunga krisan putih, kuning, dan merah, di sana. Bunga kesukaanku. Aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum manis dan berkata lembut, "Hadiah untukmu, My Princess. Selamat datang kembali."

Balikpapan
January 23rd, 2011
Syahidah Amaniya
===============================================================

Give your comment ^^

No comments:

Post a Comment