Friday, January 7, 2011

FF Lomba Perjodohan

Perjodohanku
By Imah_HyunAe



Berumur 22 tahun dan berada di semester terakhir pada perkuliahanku, fokusku tak hanya pada skripsi, tapi juga pada ‘calon suami’. Orang tua sudah memberi kebebasan padaku untuk memilih siapa lelaki yang kurasa cocok denganku. Aku tersenyum. Teringat bagaimana mereka melarangku pacaran dulu sebelum sekolahku selesai. Aku mengerti kekhawatiran mereka. Anak perempuan terlalu rawan jika pacaran saat sekolah. Takut merusak nama baik juga. Karena mengerti itulah hingga saat ini aku tak pernah mengenal yang namanya pacaran.
Lalu sekarang, saat restu sudah di tangan, aku kebingungan. Aku yang terbiasa menyukai dan memendamnya di hati, bisakah menemukan pasangan? Adakah laki-laki yang akan melamarku untuk menjadi istrinya padahal selama ini banyak yang mengenalku menutup hati pada mereka?
Hatiku menjerit. Aku terpenjara pada perlindungan yang kubangun sendiri.
Aku mendesah panjang. Khayalan tentang pertemuanku dengan jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku, kembali hadir di benakku.
Benar. Aku selalu berkhayal, suatu hari seorang laki-laki dengan akhlak yang baik, dengan segala kebaikan ada padanya, datang melamarku. Mengatakan bahwa, “Selama ini aku selalu ada di sekitarmu, hanya kau yang tak menyadari kehadiranku.” Saat itu aku akan tertunduk dan tersenyum malu. Lalu lelaki itu melanjutkan lagi, “Aku tahu kau tak mau pacaran, dan itu semakin meyakinkanku kalau tak salah jika kau jatuh hati padamu. Jadi, maukah aku jadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku?” dan aku mengangguk.
Ah, khayalan yang indah, bukan? Aku tersenyum. Andai kenyataan nanti seindah itu…
***

Empat tahun berlalu. Bosan menunggu, ibu dan ayah memintaku menerima pilihan mereka. Benar. Mereka menjodohkanku dengan seseorang yang mereka rasa cocok untukku. Aku tak menolak, karena aku juga sudah lelah menunggu.
Suatu ketika, pagi yang tenang. Ketukan pintu terdengar.
“Itu mereka!” kata ibu ceria.
“Siapa, Bu?”
“Calonmu.” Kata ibu, lalu keluar. Aku bergeming di tempatku. Gelisah. Juga cemas dan takut.
Kudengar pembicaraan mereka yang hangat. Kegelisahanku makin menjadi. Siapa calonku? Akankah aku menyukainya?
“Astri! Buatkan minum, Nak!” pinta ibu dari luar. Ketegangan menyergapku.
Beberapa menit kemudian aku keluar dengan nampan berisi minuman dingin dan cemilan di tanganku. Jantungku jelas berdetak tak beraturan. Aku tak berani menatap siapa tamuku itu. Terlalu takut.
“Apa kabar, As?” teguran dari suara renyah seorang laki-laki membuatku tertegun.
“Kamu masih seperti dulu. Selalu enggan memandangku.” Sambung suara itu lagi.
Ayah, ibu dan dua orang lainnya tertawa pelan.
Apa dia mengenalku? Apa aku mengenalnya?
Ragu-ragu aku mendongak. “Hanif?” suaraku tercekat. Hanif adalah orang yang pernah kusukai saat SMA dulu. Orang yang enggan kutatap karena tak ingin dia tahu aku menyukainya.
Hanif tersenyum. Deburan halus yang lama hilang, hadir kembali. Aku tak mampu mengendalikan perasaanku. Sama seperti SMA dulu.
Entah apa yang dibicarakan oleh para orang tua, tiba-tiba saja ibu menyenggolku.
“Jadi bagaimana?” tanya ibu.
“Eh?” aku kebingungan.
“Hanif, kamu saja yang tanya?” kata ayahku.
Hanif berdehem. “Aku tahu prinsipmu yang tak mau pacaran. Itu semakin meyakinkanku kalau aku tak salah jika sampai saat ini jatuh hati padamu. Jadi, maukah aku jadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku?”
Sampai saat ini, katanya. Jadi, dia sudah menyukaiku sejak lama? Debur di dadaku makin nyata.
Perlahan aku mengangguk.

No comments:

Post a Comment