Tuesday, June 15, 2010

FF: Sad Story

Hmm aouthor comeback again. Kali ini sengaja yang jadi castnya Kim Jae Joong, coz rasa-rasanya dia aja member dbsk yang belum jadi tokoh utama di FFku, hehehe, mianhae oppa ^^
Kali ini one shoot. Tapi, kalau berasa kepanjangan, mianhae… aouthor kebiasaan lebih dari satu Chapter sih, hehe…..
Nah, kali ini author juga nggak mau lama-lama, jadi selamat membaca ^^

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Title: Sad Story
Genre: romance
Cast: Park Hyun Ae (23th), Park Soo Ae (26th), Kim Jae Joong (24th),
Disclaimer: imajinasi saya ketika santai-santai sore hari.

“Sad Story”

Ini persembahan untuk dongsaengnku. Aku tak tahu bagaimana harus memulai kisah ini. Yang kutahu, aku mengerti rasa sakitnya. Kadang aku ikut menangis melihat perihnya luka yang seharusnya tak diterimanya.
Ijinkan aku memulai kisah ini.
*******
Aku melihat ke arahnya. Dia terbangun dari tidur yang lama di pembaringnan yang siap merenggut nyawanya kapan saja. Aku benar-benar takuiut dia akan menyusul umma dan appa di atas sana.
Dia mengerjap. Seolah mengenali tempat di mana dia berada sekarang.
Aku mendekat. Ku tahan air mataku yang kembali handak jatuh saat melihat wajah pucatnya tersenyum lembut padaku.
Jae Joong baru saja pulang mengantar umma dan appanya.
“Onnie…” kurasa itu maksud dari gerak bibirnya.
“Nde…?” sial air mataku membanjir sekarang.
“……..” ia mengatakan sesuatu tapi aku tak bisa mengerti. Apa dia menanyakan ‘Ini di mana?’
Dia berkata lagi. Wajahnya pucatnya menegang. Apa dia menyadarinya?
“Tenanglah… aku segera memanggil dokter.” Pamitku sembari mengusap air mata yang tak bsia kutahan sama sekali.
Air mataku banjir saat menemui si dokter. Aku tak berhasil mengatakan satu katapun. Ini terlalu menyakitkan. Untuk kami juga untuknya.
Dokter seolah mengerti. Dia mengangguk dan bersama suster menuju ruangan itu. Aku mengikuti mereka di belakang. Tergugu tanpa bisa melakukan sesuatu.
Lagi-lagi Hyun Ae berbicara padaku, tapi aku tak tahu apa yang dikatakannya. Tangisannya membuat isakanku menjadi.
“Gwenchana Hyun Ae-ah… tenanglah…” lirihku. Bagaimana bisa menegarkan orang lain kalau aku yang menngatakannya saja masih dalam kondisi berurai air mata.
Ku dapati air mata Hyun Ae mengalir kian deras. dengan panic ia mengambil kertas di tangan suster dan menulis “Kenapa denganku onnie? Aku tak bisa mendengar suaramu, juga suaraku?”tulisnya
Aku mengatup bibirku. Beberapa detik aku tak bisa bernapas.
Dia mengguncang tubuhku. Menuntut jawaban. Di matanya ia menuntut kejujuran. Tapi di saat bersamaan kutemukan ketakutan.
“Hyun Ae-ah…” lirihku disela tangisku, aku menggeleng. Tak sanggup.
Aku menutup wajahku. Air mataku tak bisa kuhentikan sama sekali. Jelas ini membuatnya berpikir dia mengalami hal yang buruk kan?
Dokter menepuk pundakku pelan. Memberiku sedikit kekuatan. “Kau harus mengatakannya,” gumam dokter itu.
Di sela sesegukanku aku mendongak. Dongsaengku menuntut jawaban dariku dengan matanya yang telah merah.
Aku menghela napas. “Hari itu kau kecelakaan…” mulaiku. Dia menulis sesuatu lagi. Dengan tergesa. Kemuda menyerahkannya apdaku.
“Apa aku kehilangan pendengaranku onnie?”
Aku seka air mata yang gugur ke wajahnya sambil mengangguk lemah. Tatapannya penuh luka kali ini.
Kuambil pen yang masih di tangannya.
“Hari itu,” tulisku di kertas yang diserahkannya, “usai pulang dari butik, Kau mengalami kecelakaan yang sangat fatal. Kau divonis,” satu butir air mata jatuh ke kertas itu. Haruskah kukatakan yang sebenarnya, atau membohonginya?
Aku menghela napas panjang. Mencari kekuatan. “ Dokter memvonismu tidak bisa mendengar dan kehilangan suaramu selamanya.” Sambungku. “Aku tahu itu menyakitkan sekali.”
Aku tak tahu harus menulis apa lagi. Kutatap dia. Segera dia mengambil kertas itu.
Ia membacanya. Matanya menatapku tak percaya. Matanya seolah bciara ‘Katakan ini bohong, onnie!!’
“Kuatkan dirimu, Hyun Ae-ah…” bisikku. Dan kutahu itu tak berhasil. Dia tak bisa mendengarku. Dan yang dilakukannya adalah menangis hebat. Bahunya bergubcang. Ia meraung-raung, tanpa suara.
Aku menatapnya dan ikut berurai air mata. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Dokter memberikan suntik penenang. Beberapa detik kemudian Hyun Ae tertidur.
Aku mengusap wajahku yang kucel. Menghapus air mata dan berharap ia tak jatuh lagi. Tapi sekali lagi aku gagal.
Kutatap Hyun Ae. Kenapa? Kenapa harus dia Tuhan? Kenapa kau ambil pendengaran dan suaranya saat hari terbahagia dalam hidupnya sudah ada di depan matanya? Kenapa kau mempermainkan hatinya? Hati kami!!!

-flashback-
Hyun Ae tampak lebih ceria akhir-akhir ini setelah dia menjalin kasih dengan seorang namja cantik bernama Kim Jae Joong, seniornya di kampus. katanya dia sudah punya usaha, meski kecil. Dan sebentar lagi lulus.
Aku pernah bertemu dengannya ketika Hyun Ae mengajakknya ke rumah. Seorang namja yang sopan. Terlihat sekali dia begitu penyanyang. Dan aku merestui hubungan mereka.
--
Hyun ae mondar-mandir di dapur saat aku sedang memasak untuk makan malam kami. Wajahnya tampak tegang. Padahal sore tadi masih berbinar bahagia. Aku tak bertanya karena tahu pasti Jae Joonglah yang membuat sebahagia itu, seperti biasanya.
“Wae?” tanyaku akhirnya.
“…Eh?” dia berhenti. Menatapku dengan tatapan gelisah.
“Ada yang ingin kau katakan?”
Dia diam. Seolah menimbang-nimbang mengatakannya atau tidak. Aku menunggu sembari meneruskan masakanku.
“Onnie…”
“Hm..?”
“Janji tidak akan marah ya!?”
“Tergantung separah apa masalah itu dari sudut pandangku.” ^^
“Onnie~ ” ia merengek manja.
“Arraseo.” Aku menoleh kearahnya sambil menuangkan masakanku ke priring. “Aku tak akan marah,” kataku sembari menaruh piring itu di meja. Aku mariknya duduk di kursi makan. “Sekarang katakan.”
“Umm…”
“Hm?”
“itu…”
“Apa~?”
“Tadi…,Jaejoong oppa melamarku,” lirihnya.
“Jeongmal? Whaaa~” XD
Dia menagngguk. “Dia mengajakku menikah….”
“Selamat yaaa….” XDD
“Eh? Onnie tidak marah?”
“Ini kan kabar baik? Kenapa harus marah?”
Dia tersenyum malu. Aku mengelus kepalanya lembut. “Kalau dia memang serius, dia harus melamarmu padaku secara resmi lho…”
“Gwenchana?”
Aku mengangguk. “Hm~mm… Gwenchana.”
“Gomaweo Onnie… AKu janji nanti kucarikan namja yang baik yang cocok dengan onnie.”
Aku tersenyum. “Ada-ada saja.”
--
Jae Joong datang ke rumah kami bersama keluarganya. Secara resmi mereka melamar Hyun Ae.
Kami menentukan hari pernikahannya. Setelah sepakat kami membicarakan detail pestanya.
Kami juga berkunjung ke makam orang tua untuk meminta restu.
Segalanya berjalan dengan lancer. Semuanya telah siap, tinggal menuju butik yang di tentukan pihak keluarga Jaejoong untuk mengukur baju. Pihak laki-laki sudah menunggu di sana. Aku tak bisa ikut pergi karena tiba-tiba rapat penting tak bisa ditinggalkan.
Jae Joong sebenarnya ingin menjemput, tapi Hyun Ae melarangnya karena jarak dari rumah ke butik itu cukup jauh. Dia memilih naik taksi.
Dia pamit padaku lewat telpon.
“Tumben…” ejekku.
“Siapa tahu onnie merindukan suaraku?” candanya.
“Tidak akan!” sangkalku, bercanda.
Dia tertawa.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaa……….tut-tut-tut….”
Deg!
Jantungku serasa berhenti berdetak. Apa yang terjadi. Kenapa dia berteriak?
“Hyun Ae-ah?” panggilku cemas. Tak ada jawaban.
“Yongseo??? Yongseo??? YAAA!!! HYUN AE-AH???”
--
--
Rapat baru mau dimulai ketika sebuah telpon masuk. Nomor tak dikenal. Aku menjawab. Suara wanita. Dan detik itu juga aku merasakan diriku tak berpijak di bumi.
Aku minta ijin dan segera menuju rumah sakit. Menunggu di depan ruang UGD, tempat dongsaengku berjuang untuk hidupnya. Aku meminta agar Tuhan tak mengambilnya.
Aku menelpon Jae Joong. Mengabarkan bahwa Hyun Ae kecelakaan.
Mereka ada di sampingku 20 menit kemudian. Kami sama-sama meminta keselamatan Hyun Ae.
--
Dokter keluar, kemdian mengajakku ke ruangannya. Mengatakan dia selamat tapi juga mengatakan vonis yang menyakitkan itu. Aku yang tak mengalami saja sehancur ini apalagi dia?
Jae Joong menghampiriku ketika aku keluar.
“Apa kata dokter? Apa lukanya parah?”
Aku diam bersamaan tetesan air mata yang jatuh ke pipiku.
“Noona?!” ia menatapku cemas.
“Dokter bilang…” aku mengatakannya sambil tergugu, “Hyun Ae kehilangan pendengaran dan suaranya selamanya.”
Jae Joong mundur ke belakang beberapa langkah. Syok.
-----end flashback----

Aku meminta Tuhan agar tak mengambilnya. Tapi sepertinya doaku kurang. Tuhan memang tak menngambilnya dariku tapi sebagai gantinya aku kehilangan suara dan pendengarannya. Dia tak lagi bisa mendengar suara-suara indah idolanya.
Dia bilang aku merindukan suaranya. Dan itu sepertinya benar-benar terjadi.
Jae Joong masih belum kembali ketika dia terbangun lagi. Digenggamnya tanganku dengan erat. Aku menatapnya. Dia mengatakan sesuatu yang lagi-lagi tak bisa kuterka.
Lagi-lagi air mataku jatuh saat dia menatap sekitar dengan putus asa.
Dia berusaha menjangkau sesautu. Buku?! Ah!!
Aku segera mengambilnya. Dia menulis sesuatu di sana.
“Apa Jae Joong oppa sudah tahu keadaanku?”
Aku mengangguk. “Dia tadi mengantar orang tuanya pulang. Mungkin sebentar lagi kembali.”
Usai aku menulis itu, sosok Jae Joong datang. Hyun Ae menangis seketika. Dia mengatakan sesuatu lagi.
Jae Joong merengkuhnya ke pelukannya. Mengusap kepala Hyun Ae dengan lembut. Membiarkan Hyun Ae menangis sepuasnya di bahunya.
Perlahan aku keluar.
--
Aku menyampaikan permintaan Hyun Ae. Membatalkan pernikahan. Kedua orang tua Jae Joong dan Jae Joongnya sendiri tampak terkejut.
“Kami tidak bermaksud mempermainkan kalian. Kami… kami merasa tidak enak, dengan kondisi Hyun Ae seperti ini. Aku… terlebih Hyun Ae tak ingin Jae Joong terpaksa menikahinya hanya karena kesepakatan sudah terucap sebelum kecelakaan ini terjadi. Saya pikir-“
“Aku tetap menikahinya Noona. bagaimanapun dia, karena dia Hyun Ae yang kucintai, aku tetap akan menikahinya.”potong Jae Joong.
Penglihatanku buram. Aku tahu aku kembali menangis kali ini. “Jangan memaksakan diri, Jae Joong-ah.” Lirihku.
“Annio. Umma, appa dan aku baru saja mau berunding dengan noona tentang jadwal ulang pernikahan kami.”
Aku mengatup bibirku. Cuma satu kata yang bisa kukeluarkan, “Khamsahamnida…” aku membungkuk.
“Ya… tak perlu seformal itu,” umma Jae Joong memelukku. “Sudah kubilang kita keluarga kan?”
“Chosuhamnida…” dia mengusap air mataku dengan lembut.
--
Hyun Ae menangis terharu ketika Jae Joong dan kelurganya datang dan mengatur ulang jadwal pernikahan.
“Aku mencintaimu tanpa alasan. Meski kau tak seperti dulu, kau tetaplah Hyun Ae, orang yang ku cinta.” Begitulah sms dari Jae Joong ketika dia dan keluarganya sudah pulang.
Aku memeluk Hyun Ae. “Kau dapat pria yang baik Hyun Ae. Benar-benar beruntung.” Batinku.
--
Pernihakan sudah dekat. Semuanya sudah diatur dengan baik. Aku mengantar Hyun A eke butik. Dia tampak cantik dengan gaun pernikahan yang senada dengan Tuxedonya Jae Joong. Mereka terlihat serasi sekali. Kulihat Jae Joong memujinya dengan menggunakan bahasa isyarat. Benar, aku, Hyun Ae, dan Jae Joong, bersama-sama mempelajari bahasa isyarat. Agar aku dan Jae Joong tahu apa yang ingin Hyun Ae sampaikan, dan agar Hyun Ae juga tahu apa yang kami ingin sampaikan.
“Oppa juga tampan,” balas Hyun Ae dengan isyarat tubuh pula.
Di sudut ini aku tersenyum. Kebahagiaan dongsaengku adalah kebahagiaanku juga.
--
Sudah dua jam berlalu Jae Joong belum datang juga. Kata Jae Joong dua jam lalu, jalanan macet total.
Orang tua Jae Joong yang lebih dulu datang tampak cemas. Hyun Ae lebih cemas lagi. Sesekali dia melihat HPnya. Berharap Jae Joong menelponnya.
Gemas, dia memencet tombol di HPnya. Menelpon Jae Joong. Tapi tetap tak ada jawaban.
“Kenapa dia tidak mengangkat telponku?” tanya Hyun Ae dengan isyarat tubuhnya.
Aku jadi ikut-ikutan cemas.
“Ah, Jae Joong? Di mana kau?” suara appanya Jae Joong mengalihkan perhatian kami.
Tiba-tiba wajah pria 50 tahunan itu memucat. “Anda bilang… Jae Joong kami… kecelakaan?”
Hyun Ae menatap tajam pada appa Jae Joong, begitu juga denganku.
“Nde? Di jalan XXXX? Seka-”
Belum selesai appa Jae Joong bicara Hyun Ae sudah berlari keluar. Tak peduli dengan gaunnya yang akan rusak. Juga dandanannya. Yang ia pedulikan Cuma keselamatan Jae Joong.
Aku mengejarnya di belakang. Kuteriakkan namanya, memintanya berhenti. Tapi dia masih terus berlari. Ah, aku lupa kalau dia tak bisa mendengar.
Aku terus berlari di belakangnya.
Ambulance melewati kami. Hyun Ae menoleh sambil berlari. begitu juga denganku. Apa di dalam sana adalah Jae Joong?
Setibanya di jalan XXXX lariku melambat. Kulihat Hyun Ae sudah terduduk di aspal. Bahunya berguncang. Dia nampak menggenggam sesuatu.
Aku mendekat. Dia nampak menggenggam cincin pernikahan yang di siapkan Jae Joong. Ada bercak darah di cincin itu. Hyun Ae menatapku, tergugu. Sembari memberikan isyarat, “Waeyo onnie?”
Aku langsung duduk di sampingnya dan memeluknya. Dia memukul-mukul tubuhku sambil menangis. Tuhan… kenapa seperti ini?
Hujan seketika turun ke bumi. Membasuh darah yang tadi melumuri sebagian aspal.
Bersusah payah aku membawanya ke rumah sakit.
--
Mata appa dan Umma Jae Joong tampak merah. Sesuatu yang buruk pasti terjadi.
Merkea mempersilahkan kami masuk ke dalam ruang gawat darurat. Satu sosok berselimut kain putih menusuk hati kami. Perlahan, Hyun Ae mendekat. Sosok itu kian jelas. Kim Jae Joong.
Hyun Ae langsung memeluk sosok itu. Bahu Hyun Ae berguncang semakin hebat. Dia seperti berteriak “ANDWEE!!” namun tak terdengar. Air matanya deras mengalir.
Di sudut ini, aku hanya bisa menangis. kembali tak ada yang bisa kulakukan. Kenapa harus begini Tuhan?
*****
Umma dan Appa Jae Joong sering mengunjungi kami. Berbagi kenangan tentang Jae Joong. Juga berusaha membuat Hyun Ae ceria kembali. Namun sepertinya kami tak berhasil.Sekarang Hyun Ae lebih sering menatap langit. Tak pernah lagi kulihat dia tersenyum. Bahasa isyarat pun sangat jarang ia gunakan untuk bicara denganku. Seolah memilih diam dan mengunci diri. Diajak bicarapun dia hanya mengangguk dan menggeleng.
Kemarin kutemukan di HP Hyun Ae
To: Jae Joong my namja
“Jae Joong oppa… boleh aku menyusulmu?”
Detail: Gagal mengirim.

-end-
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Ottokhe? Author sempet nangis waktu nulis cerita ini *lebay? tapi ini kenyataan*
Give ur commet!!!
Apalagi yang kena tag. WAJIB COMMENT lho!!! XDDD

No comments:

Post a Comment