Sunday, February 18, 2018

Flashback 1

Flashback 1
Bagaimana aku menemukan bakatku?

Hai!
Perkenalkan. Aku pemilik nama pena Orina Fazrina dan Imah_HyunAe. Bagi kamu yang bingung kenapa aku punya dua nama pena, nanti akan kuceritakan.  Tidak di sini, tapi di postingan lainnya. Aku harap kamu bersedia menanti.  😊

Sebelum aku memulai kisah tentang Novel pertamaku, boleh kan,  aku bercerita tentang diriku yang menemukan bakat menulis ini?  :)

Aku sejak kecil suka berkhayal. Apalagi ketika aku bermain sendirian. Aku menikmati khayalanku itu. Sendirian tentunya. Tak pernah kuceritakan pada siapapun termasuk keluargaku. Bagiku, mengkhayal itu menyenangkan. Apa kamu berpikiran sama?  😃

Setelah menginjak usia SMP, sekitar tahun 2003, aku mulai mengenal dunia fiksi, yaitu cerpen. Cerpen ini kutemukan di majalah dan tabloid keren pada masa itu. Karena cerpen-cerpen yang keren, aku jadi mengenal dunia sunyi namun menyenangkan. Aku bisa membayangkan dialog, latar, ekspresi tokoh dalam kepalaku. Rasanya menyenangkan dan hebat sekali.

Perasan senang itulah yang membuat aku tertarik untuk menuliskan khayalanku dalam bentuk tulis tangan. Agar bukan hanya aku yang menikmatinya, tapi orang lain juga. Awalnya aku menulis cerpen pertamaku di buku. Kemudian zaman itu diary lagi tenarnya, aku pun menuliskan cerita di diary. Semoga buku-buku dan diarynya masih ada. Biar bisa kutunjukkan pada kalian kenangan belasan tahun itu.  😂

Teman-teman SMP-ku tentu tahu bagaimana aku menyebarkan tulisanku pada saat istirahat atau jam pelajaran (ini jangan ditiru ya  😅). Aku kadang meminta saran mereka. Bahagia sekali rasanya ketika mereka menyukai apa yang kutulis dan menagih kapan lanjutan atau tulisan lainnya kutulis.

Ini awal-awal menulis yang paling indah aku rasa. Apalagi teman-teman banyak yang mendukung waktu itu. Senang sekali rasanya.

Apakah kamu juga begitu? Punya teman-teman baik yang mendukung hobi menulismu?  😀

Dari sekedar hobi menulis, rasa penasaranku terhadap media masa pun meningkat. Aku merasa tertantang dan kadang terlalu percaya diri juga. Soalnya waktu itu aku tahu, bahwa penulis cerpen di majalah dan tabloid tidak hanya dari Jakarta atau Pulau Jawa saja. Tapi luar pulau pun ada.

Pikirku waktu itu, kalau penulis lain (yang luar pulau jawa) saja bisa, kenapa aku tidak?

Dari pemikiran itu, menginjak SMA (karena baru pas SMA aku kenal yang namanya komputer dan bisa mengetik 😅) aku pun mulai rajin mengirim naskah ke redaksi majalah incaranku.

Dulu, teknologi dan sumber informasi tidak secanggih sekarang. Semua dulu harus ketik di komputer dan di-print, lalu kirim via pos. Terkadang ada redaksi yang berkenan mengirimkan surat penolakan beserta print out naskah cerpen yang aku kirim.  Kadang kala tak ada pernyataan ditolak atau diterima.

Apakah kamu juga sering ditolak atau digantung? Sekarang kamu bisa lebih tenang. Karena bukan hanya kamu yang mengalaminya, tapi aku juga. Dulu hingga sekarangpun kadang masih ditolak  😅.

Dulu, mau tanya-tanya tentang kabar naskah harus lewat telepon. Aku yang masih sekolah dan punya uang jajan yang pas-pasan tak sanggup menelepon ke redaksi hanya untuk menanyakan soal naskah itu. Jadi ketika tak ada kabar, aku menganggapnya sebagai penolakan.

Aku akui, sakit memang mendapati kenyataan bahwa imajinasi kita tak dianggap bagus dan layak untuk terbit. Pikiran untuk menyerah pun hadir. Apakah kamu juga? Kalau iya, kita tos dulu. 😃

Namun, saat itu rasa penasaranku lebih besar daripada rasa menyerah. Aku tetap mengirim terus, memperbaiki tulisan juga, hingga akhirnya tahun 2008 sebuah kabar dari pak Pos datang. Dia mengatakan ada kiriman uang untukku.

Aku jelas kaget. Siapa yang mengirim? Keluarga jauh?  Tidak mungkin! Yang paling mungkin adalah salah orang.

Nyatanya, uang itu benar untukku. Pengirimnya tabloid keren yang suka kubaca dulu. Uang itu adalah royalti untuk naskahku yang terbit di tabloid mereka.

Aku jelas mencari-cari tabloid tersebut. Tapi, lamanya pengiriman uang via pos pada tahun 2000an itu (sekitar dua minggu setelah terbit baru sampai ke tanganku) dan penjual majalah hanya ada satu (itu pun harus memesan dulu), maka aku tak menemukan tabloid yang menerbitkan cerpenku itu. Tabloid itu sudah tidak ada lagi di kios.  Andaikan ada, tentu kenangan indah ini bukan sakedar ceritaku saja, tapi ada buktinya. Hehe....

Tak mengapa jika kamu tak percaya. Tapi berkat royalti itu aku jadi semakin semangat menulis. Aku yakin tulisanku memang layak dibaca banyak orang.

Nah, dari situ aku mulai menulis novelet. Kisah cinta SMA khayalanku sih. Tetapi, sambutan teman SMA tak kalah bagus. Mereka menyukai tulisanku itu. Kadang rela antri untuk membaca. 😃

Perlu kamu tahu, dulu itu kami belum mengenal blog. Frienster dan facebook saja baru tahu setelah lulus SMA. Jadi sarana paling menunjang untuk menyebarkan tulisan adalah mengetik dan mencetaknya, kemudian dibaca bergantian oleh teman. 😅

Di SMA inilah aku mulai mengenal novel. Baik itu genre islami, romansa, teen lit, dan drama. Saat SMA juga novel yang kusuka adalah novel yang tebal-tebal. Rasanya lebih puas membaca yang tebal dari pada yang tipis.

Kemudian, setelah sering baca novel, perasaan tertantang pun muncul. Orang lain bisa nulis novel, aku pun harus bisa. Pasti bisa.

Aku lantas mencoba. Sulit memang di awal-awal. Hanya untuk memenuhi target 80 halaman, aku kesulitan. Kamu yang baru mulai menulis, apakah juga merasa kesulitan?
Jika iya, maka tenanglah. Kamu akan terbiasa seiring waktu dan seringnya kamu menulis. Kayak aku sekarang hehe...

Nah, selanjutnya akan kumulai kisah bagaimana novel pertamaku terbit.

Perjuangan untuk menerbitkan karya ini tidaklah mulus. Apa Kamu siap menyimak?  😃
Aku harap begitu.  😊

No comments:

Post a Comment