Sunday, December 31, 2017

Obrolin Buku I Want to Eat Your Pancreas

Sebelum mulai membahas, aku mau mengucapkan HAPPY NEW YEAR!!  Semoga keinginan dan resolusi kita untuk tahun ini terwujud. Aamiin...

Well, back to novel. 😊
.
.

Novel I Want to Eat Your Pancreas
Karya Sumino Yoru
Edisi terjemahan Bahasa Indonesia
Penerbit: Haru Media
Cetakan pertama tahun 2017

Novel bergenre J-lit pertama di tahun 2018 yang selesai aku baca. Sebenarnya bacanya sudah dari Desember 2017 kemarin. Tapi mungkin karena sudah menebak bakalan sad ending, aku jadi kurang bersemangat membacanya (padahal sad ending yang sering membekas di hati).

Dari novel ini, aku jadi tahu ada mitos tentang memakan organ tubuh yang sakit biar kita sembuh. Contoh sakit pankreas, jadinya harus makan pankreas orang lain/binatang, biar sembut. Begitulah...
Tapi tenang, di novel cuma membahas soal mitos itu aja. Ga benar-benar dilakukan kok.

Memakai sudut pandang pertama cowok, dengan nama yang tak pernah disebut para tokoh lainnya, membuatku bertanya-tanya siapa sebenarnya nama si 'Aku' di sini. Mereka selalu memanggilnya dengan julukan, bahkan saat nama yang dipanggil pun ditulis pakai tanda tanya. Sempat kesal sih,  sebegitu dirahasiakannya si 'Aku' ini.  Namun untungnya, penulis menjawab rasa kesal dan penasaran itu di halaman yang menjelang akhir cerita.

Seperti yang kubilang, ini sad ending.  Di awal bab pun sudah digambarkan kok keadaan sad ending itu, makanya di pembahasan ini pun tak aku rahasiakan. Nah, karena sudah tahu bakalan sedih, aku sudah menyiapkan hati perihal kematian tokoh sentral yang memengaruhi kehidupan mandiri si 'Aku' ini.

Aku dengan yakin sekali menduga bahwa si sakit bakalan meninggal karena sakitnya. Tapi, mungkin ini yang disebut plot twist, ya. Si sakit meninggal bukan karena sakitnya! Melainkan karena hal lain yang jujur saja mengejutkan sekaligus bikin tidak terima. Sama kayak si 'Aku',  sebagai pembaca, aku pun merasakan kehampaan begitu si Sakit meninggal. Terlalu tidak nyata, tapi itulah kenyataannya. Dia meninggal.

Adegan yang membuatku meneteskan air mata bukan saat si Sakit di kremasi, atau saat dia diberitakan tak tertolong lagi.  Melainkan saat si 'Aku' mengunjungi rumah si Sakit (setelah upacara kremasi selesai dilakukan, setelah sekian hari berlalu). Saat 'Aku' bertanya "Boleh saya menangis...?", saat itulah air mataku jatuh. Aku menangis semakin deras bersamaan dengan jerit tangis si 'Aku' yang menyembilu.

Aku turut kehilangan...

Gaya bahasa dan terjemahannya bagus. Nyaman dibaca. Beberapa istilah jepang juga masih dibiarkan dengan catatan kaki di bawahnya, termasuk juga penyebutan tambahan -kun di akhir nama. Jadi, masih terasa jepangnya.

Kalau semisal merasa ga sanggup baca yang sad end, coba deh bayangin si 'Aku' adalah Kento Yamazaki. Pasti jadi semangat lagi (ini yang aku lakukan hehe...)

Kutipan yang aku suka di antaranya:

"Nilai satu hari bagi setiap orang itu sama." hal. 15.

"Pada dasarnya manusia tidak tertarik pada orang selain dirinya." hal. 43

"Aku tidak akan mengajak orang yang aku tidak tertarik padanya untuk pergi keluar." hal. 44

"Karena kau adalah orang yang berlawanan denganku, hal yang tak mungkin terpikir olehku sepertinyaakan terpikir olehmu." hal. 47

Segini dulu obrolannya. Aku mau memilih novel mana lagi yang mesti kubaca di sisa liburan tahun baru ini. 😁

No comments:

Post a Comment