Sunday, December 19, 2010

Cantik, I'm Coming!!! bab 1

Bab 1

Sudah hampir tiga minggu Rea keluar dari rumah sakit. Tiga bulan yang lalu, dia masih di pembaringan rumah sakit, antara hidup atau mati. Setelah siuman dan menjalani masa pemulihan, dia baru diperbolehkan pulang. Sayang, semenjak kecelakaan itu senyum kekanak-kanakannya tak terukir lagi. Sepanjang hari yang terlihat di wajahnya, sambil menatap jalan, hanyalah kemurungan. Mungkin masih trauma dengan peristiwa itu. Dia sedang naik motor bersama kekasihnya dan ditambrak oleh sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Terpental beberapa meter. Tulang punggungnya patah, untung masih bisa di operasi. Dan karena kecelakaan itulah dia tidak berani jalan-jalan di jalan raya. Dia lebih memilih di rumah sampai Papa datang, barulah meminta di antar ke tempat yang dia inginkan.
Bahkan saat teman-teman sekelasnya mencoba mengajaknya bercanda, Rea tetap tak tertawa.
***
Papa tampak menjinjing dua tas terakhir yang akan mereka bawa. Keluarga kecilnya telah memutuskan untuk pindah dan mencoba lingkungan baru, yang tidak terlalu ramai. Berharap anaknya bisa hidup damai tanpa mengurung diri di rumah lagi.
Rea memandangi kakeknya. Perlahan dia mendekat. Bersimpuh seraya berpaminatn dan mengucapkan kata maaf. Kakek memandangnya dengan nanar. Tak terbayangkan bagaimana jadinya dia kalau cucunya itu tak kembali ceria lagi. Pasti sepi.
Rea bangkit. Disuguhkahnya seulas senyum getir. Hahhh, senyumnya yang dulu benar-benar sirna, bisik hati Rena, sepupu sekaligus orang yang tahu persis penyebab perubahan sikap Rea.
“Tante, jagain Kakek, ya?” pintanya sambil memeluk wanita di depannya, anak bungsu kakek.
“Iya…” jawab wanita itu.
Pandangan Rea melayang pada Rena yang sejak tadi memandnaginya dnegan nanar. Ia melepas pelukannya dengan tantenya dan mendekati gadis itu. Lalu memeluknya erat.
“Janji ya, kalau kembali ke sini lagi, kau sudah jadi Rea yang dulu?” pinta Rena dnegan mata yang sudah basah.
Rea tak menjawab. Dia tak yakin apakah bisa jadi Rea yang dulu. Rea yang kekanak-kanakan dan manja. Rea yang jahil dan suka ketawa ngakak di depan semuanya tanpa malu, Rea yang ceria dan selalu menikmati hidup.
“Sering-sering telpon dan SMS aku,” pinta Rena lagi.
Rea mengangguk.
Rena berdecak kesal. “Kau ini! Biasanya kalau melihatku menangis begini kau akan bilang, ‘cup-cup-cup…. Anak manis, Mama gak lama kok! Jangan nanngis ya…’ kenapa sekarang tidak? Kenapa kamu berubah??” ucap Rena setengah berteriak.
“Rena…” tegur Tante setengah berbisik. Mata wanita itu mendelik gusar.
Rea tertunduk. Dia sadar semua orang sudah tahu penyebab kecelakaannya. Semua juga tahu apa yang terjadi dengan perasaannya, hanya saja, semua dulu yang mati-matian melarang anak remaja seperti dia dan Rena ‘pacaran’ tak bisa memarahinya. Semua takut kalau Rea semakin terluka. Dan hal yang paling dikhawatirkan adalah Rea nekat bunuh diri karena frustasi sebab orang yang dicintainya meninggal saat kecelakaan itu terjadi. Cinta monyet yang tanpa diduga membuat gadis itu kehilangan kebahagiaannya.
***

Pohon-pohon diu tepi jalan menyambut dengan riang. Gesekannya membahana di sekitar jalan. Terdnegar seperti ucapan selamat jalan. Rea menghempaskan napasnya dengan keras lalu menoleh ke samping. Dia duduk di jok belakang. Sendirian. Membisu. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibir mungilnya. Pandangannya kosong. Benaknya mengembara ke peristiwa itu. Lalu merangkak lagi ke kejadian seminggu lalu. Saat dia dinyatakan tidak naik kelas karena gagal dalam ulangan. Karenanya dia masih duduk di kelas X SMA.
Mobil terus meluncur melintasi ruas jalan raya yang cukup ramai. Sesekali Mama dan Papa memperhatikannya. Mereka jelas sedih melihat kenyataan kalau anak tunggal mereka telah rapuh kini. Melihat tubuhnya yang kurus, mata yang sayu, dan wajah yang selalu diselimuti mendung. Cinta… kenapa setega itu menyakitinya?
***

Dua pembantu meyambut kedatangan tuannya. Mereka mengangkat tas milik Rea ke dalam rumah setelah mengucapkan selamat datang. Dalam benak mereka suasana rumah akan ramai kali ini karena kehadiran Rea yang mereka ingat begitu ceria dulu. Mereka tidak tahu, kalau keceriaan itu mungkin sudah pergi untuk selamanya di kehidupan Rea.
Tanpa dituntun, Rea melangkah masuk ke kamarnya yang ada di lantai dua. Kamar itu sudah menjadi kamarnya sejak kecil, dan tetap menjadi miliknya meski dia sempat dua tahun tinggal di tempat kakeknya.
Perjalanan yang panjang jelas menginginkan tubuh untuk beristirahat sejenak. Maka, dihempaskannya tubuhnya ke kasur. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang berwarna ungu. Bayangan kekasihnya yang telah pergi itu hadir di benaknya mengiringi air matanya yang mengalir. […]

No comments:

Post a Comment