Title: Story to Remember
Author: Imah Hyun Ae
Update: 15 Maret 2010
Story to Remember
By Imah Hyun Ae
Seorang wanita datang dan mengatakan kalau dia adalah ibu dari anak itu. Han Shin Hye yang tak bisa bertemu dengannya setelah hari ulang tahunnya langsung menahan napas. Apa yang terjadi padanya?
Wanita itu menyerahkan sebuah amplop.
“Untukmu.”
Shin Hye mengambilnya dengan gugup. Di bukanya amplop itu. Ada beberapa lembar kertas di dalamnya.
“Bacalah. Dia sengaja menulisnya untukmu.” Kata wanita itu lagi.
Shin Hye mulai membacanya.
***
“Kisah Untuk Di Kenang”
Aku memandang penuh kagum pada lukisan yang ada di depanku. Lukisan matahari tenggelam bersama langitnya yang berubah jingga. Lagi, senja yang indah. Terasa sangat tenang. Seolah bisa kurasakan hembusan angin senja yang lembut di lukisan itu. Senja yang menghiasi sebuah kota. Pelukisnya seolah-olah sedang melihat senja dari sebuah gedung tinggi.
Kusentuhkan tanganku ke langitnya. Dadaku bergetar. Betapa inginnya aku melihat senja ini dengan nyata.
Kubaca nama pelukisnya. Han Shin Hye. Ah, kau lagi. Kau pelukis yang selalu melukis pemandangan siang yang indah. Kau yang selalu berhasil menggetarkan hatiku untuk kembali melihat lukisan-lukisanmu. Aku tak berbohong jika menyebut betapa indahnya lukisanmu.
Kau lebih sering melukis senja. Lukisan senja dari sebuah pedesaan. Senja di atas jembatan. Senja yang membasuh jalanan sempit. Senja di sungai Han. Senja di padang bunga. Senja yang menenangkan di pinggir pantai. Senja yang terjadi di musim panas, gugur dan semi. Senja saat mendung menggantung. Senja saat langit penuh dengan awan, senja saat langit tanpa awan. Senja dengan semburat jingganya yang berbeda-beda. Ah, betapa banyak senja yang dilukismu.
Kau juga melukis pelangi, salju yang turun, bunga sakura yang bermekaran di ruas-ruas jalan, daun-daun yang berguguran di musim gugur, juga hujan yang membasahi padang rumput hujau.
Tak pernah kudapati kau melukis pemandangan malam. Seandainya ada, aku pasti berbahagia. Tak akan sebegitu ingin melihat dunia saat matahari masih di luar peraduannya.
“Ottokhe?”
Kau membuyarkan ingatanku. Aku menoleh. Kau memperlihatkan lukisan terbarumu padaku memandang penuh harap.
“Noona sudah sering melukis senja, tapi tetap saja tak membuatku bosan.”
Kau tertawa. Memukul pundakku pelan.
Aku teringat hari itu….
~*~
Aku menuju galeri seperti biasa. Ingin melihat lukisan yang selalu menenangkan hatiku. Saat masuk, tak sengaja aku menubruk seseorang.
“Ah! Mianhae…” kata seorang gadis di depanku sambil membungkuk. Dia memungut lembar-lembar lukisannya berhamburan. Kubantu dia memungutnya.
Han Shin Hye. Kubaca nama itu di lembar lukisannya.
“Boleh ku ambil lukisanku?”
“Ah? Ye.” Kuserahkan lukisan itu padanya.
“Khamsahamnida.” Dia mengambil lembar lukisan di tanganku, kemudian pergi.
Aku mematung di tempatku. Mencerna sesuatu. Ah, bukankah Han Shin Hye itu nama pelukis yang lukisannya begitu kusukai??? Aku baru sadar bahwa itu kau.
Aku segera berhambur keluar. Berharap bisa menyusulmu.
“Shin Hye-ssi!!!” panggilku keras.
Sosok di depan yang cukup jauh dariku berhenti melangkah dan menoleh.
“Shin Hye-ssi!!!” panggilku sekali lagi sambil melambaikan tanganku.
Matamu tertuju padaku.
Aku berhenti berlari tepat di depanmu.
“Anda… Han Shin Hye kan?”
“Ye.” Katamu sambil mengangguk.
Betapa girangnya aku. “Ah! Ki Bum imnida. Boebgedoeseo bangabseubnida.”
“Nde?” kau terlihat bingung.
“Aku penggemar lukisanmu. Senang sekali bisa bertemu siapa yang melukisnya.”
“Khamsahamnida.” kau tersenyum lembut hari itu dan langsung membawa sebagian dari hatiku.
“Boleh minta tanda tanganmu?”
Kau mengambil spidol di datam tasmu. Ups!! Aku baru sadar tak bawa buku. Bagaimana ini??? Ah, tanda tangan di baju saja. Tapi…aku pakai baju biru tua, bisakah terlihat tanda tangannya. Aishh…ah, di uang saja, hehehe….. Tidak kau tahu begitu paniknya aku hari itu?? ^^
“Di mana aku harus tanda tangan?”
Kukeluarkan dompetku dan kuambil selembar uang lima ribuan.
“Di sini saja,” kataku malu-malu. Kau tersenyum dan mengambil uang di tanganku dan mulai menandatanginya.
“Apa kau masih sekolah?”
“Eh? Mm.. Ye.” Seumuranku harusnya masih sekolah kan?
“Di mana?”
Aku berpikir sebentar. “SMA Kyonggi.” Maaf membohongimu.
“Kyonggi?” Kau bertanya antusias.
“Y..Ye..” apa kau sekolah di sana juga??
“Ah. Aku alumni SMA itu. Sudah tiga tahun lulus dari sana.”
“Jeongmal??”
Kau mengangguk mantap. “Tak disangka bertemu juniorku.”
“Ye..” jawabku ragu. “Tak di sangka ternyata pemilik lukisan yang kukagumi adalah sunbei.” Salah sebut sekolah nih kayaknya.
Kau tertawa.
Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.
“Mian, sebenarnya ingin berbincang lebih lama denganmu. Tapi, aku sudah ada kuliah.”
“Ah, Ye. Gwenchanayo su.. sunbei.”
“Sampai jumpa,” katamu lalu berbalik. Aku langsung bernapas lega.
Tapi… tiba-tiba kau berbalik lagi. Mengeluarkan gulungan lukisanmu dan mengambil satu, kemudian menandatanganinya. “Untukmu.” Katamu sambil menyerahkan itu padaku. Lukisan senja di atas sungai Han. Kesukaanku.
“Khamsahamnida, Sunbei.” ^^
“Chomannayo. Sudah lama tak bertemu dengan adik tingkat rasanya senang sekali. Sampai jumpa lagi Ki Bum.” Kau melambai padaku kemudian bernar-benar pergi.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Senang atau tak enak hati. Aku berbohong padamu aku sekolah di SMA Kyonggi. Mana pernah aku di sana. Terakhir aku sekolah adalah kelas 4 SD. Ayah dan ibu menghentikan sekolahku karena penyakitku yang tak bisa melihat matahari. Penyakit yang sudah pasti berujung pada kematian. Jika aku keluar pada siang hari, sama halnya aku mengurangi sisa umurku, begitu pikir mereka. Jadilah, setelah kelas 4 SD, pola kehidupanku berubah. Siang jadi malamku. Dan malam jadi siangku.
Noona, jeongmal mianhae...
Kutatap lukisan di depanku. Teringat denganmu, Shin Hye noona.
Dua hari kemudian tak sengaja aku bertemu denganmu lagi. Kita masuk di bus yang sama. Kau yang mau pulang ke rumahmu dan aku yang sedang ingin ke bioskop. Kau tersenyum melihatku, kubalas senyumnya sekenanya. Aku benar-benar tak enak.
Saat kau turun dari bus, aku ikut turun. Kau menatap bingung padaku.
“Jeongmal mianhae, noona.” Kataku sambil membungkuk. “Aku sudah berbohong pada Noona. Aku… sebenarnya tidak sekolah di SMA Kyonggi. Sebenarnya aku tidak bersekolah.”
Kau diam. Tahukah noona bahwa itu membuatku semakin tak enak.
“Gwencanayo, Ki Bum. Ah, itu benar namamu kan?”
“Ye.” Aku tersenyum malu.
Kudapati kau tersenyum.
“Pantas saja kau tadi terlihat tidak nyaman. Rupanya merasa bersalah telah berbohong padaku.”
Aku mengangguk.
“Gwenchanayo.” kau menenangkanku.
Kemudian kau pamit.
Setelah hari itu, lagi-lagi kita tak sengaja bertemu. Kali ini di sungai Han. Tempat kedua yang menenangkanku.
Kita berbicara banyak hal di sana. Dari sana aku tahu kenapa kau sangat menyukai senja. karena senjalah satu-satunya hal yang tak bisa kau lihat. Kau hanya bisa melihatnya lewat foto. Begitu juga dengan malam. Pandanganmu akan kabur jika adat di tempat gelap. Tapi kau masih beruntung dariku noona.
Kau pernah mencoba melukis pemandangan malam, tapi gagal. Tak seindah lukisan siang harinya, katamu.
Dan kita sejak saat itu mulai bersahabat dekat.
~*~
“Ki Bum? Kau tidak mendengar perkataanku ya? Pergi ke mana pikiranmu tadi??”
Aku tersadar. Berapa lama tadi aku melamum.
“Huuu, dasar dongsaeng-ku yang satu ini!!” kau mencubit pipiku. Tapi tahukah noona, itu membuat jantungku berdetak cepat?
“Ah, sakit noona.” Kataku manja.
Kau terlihat kesal. Aku suka wajah kesalmu, noona. Sangat!
“Siapa suruh melamun saat aku bicara!”
“Mianhae… memang noona bicara apa?”
Kau diam.
Kutatap lekuk wajahmu. Entah berapa lama lagi aku bisa melihatnya. Aku tak yakin penyakitku bisa mengijinkanku bertahan lebih lama, noona.
“Aku bilang apa kau mau menemaniku melihat matahari terbit besok lusa?”
“Eh? Memangnya kenapa dengan mahatari terbit besok lusa?”
“Ki Bum-ah, apa kau lupa? Besok lusa kan ulang tahunku? Bukankah aku sudah cerita setiap ulangtahunku aku merayakannya dengan melihat matahari terbit di sungai Han ini?”
“Ah!” Mianhae noona, aku sempat lupa ^__^
“Bisa kan? Kita buat harapan sama-sama.”
“Aku kan tidak ulang tahun pada hari itu noona!”
Kau terlihat kesal lagi.
“Memangnya kenapa noona ingin merayakannya bersamaku? Bukankah seharusnya noona merayakannya bersama keluarga atau mungkin seseorang yang spesial?”
“Aish…” kau mengeluh. Semakin kesal sepertinya.
“Apa kau tidak mengerti?” tanyamu putus asa.
Aku mengangguk.
“Aishh… sudahlah! Lupakan saja!!”
Kau berdiri dan melangkah kesal.
“Ya!!! Noona!!! Tunggu!!” Aku mengejarmu.
“Aku membencimu Ki Bum!!!” teriakmu.
“Ya!! Noona!! Baiklah! Kita lihat matahari terbit besok lusa. Tapi biarkan aku memberi hadiah-hadianku sepanjang malam sebelum matahari terbit tiba?”
“Jeongmal??”
Aku mengangguk. Matamu berbinar bahagia. Waktuku mungkin sudah tak banyak noona. Tak apa jika harus berkurang, jika itu bisa membuatku semalam saja, mengukir kenangan indah bersamamu.
~*~
Aku sudah menyiapkan banyak hadiah untukmu. Aku mengajakmu makan malam bersama di sebuah restoran yang enak. Setelah itu aku mengajakmu ke game zone. Ku ajak kau ke tempat-tempat menarik lainnya. Kau tertawa bahagia. Dan saat itu akupun benar-benar bahagia, noona.
Aku mengajakmu ke tempat-tempat menarik lainnya. Hingga pukul 4 pagi barulah aku mengajakmu ke sungai Han.
“Tidak kukira kau memberiku banyak hadiah, Ki Bum. Tak pernah aku merayakannya semalam penuh. Gomaweo, sudah menunjukkan tempat-tempat menarik di malam hari padaku. Jeongmal gomaweo Ki Bum-ah.”
“Chomanayo noona.”
Ku lihat semburat jingga di ufuk timur. “Ah, mataharinya mulai terbit. Saeng il chukkae hamnida… saeng il chukkae hamnida… saeng il chukkae Shin Hye noona… sangeil cukae hamnida….”
Aku bertepuk tangan dan bernyanyi dengan ceria untukmu. Kau tertawa.
“Gomaweo Ki Bum…”
“Saatnya mengucapkan harapan.”
Kau memejamkan matamu. Aku merasa sebentar lagi aku tak akan bisa menemuimu, noona. Mianhae… membuatmu bertemu dengan orang sepertiku.
“Noona…”
“Nde?” kau membuka matamu lagi.
“Jangan buka matamu sebelum aku bilang buka. Aku mempersiapkan hadiah lain untukmu.”
“Ki Bum-ah… yang kau beri sudah cukup.”
“Gwenchanayo noona.” Aku tersenyum. Kau mencubit pipiku gemas.
“Gomaweo.” Kau lalu memejamkan matamu.
Aku tahu aku harus segera pergi. Ku ambil kertas yang sudah kutulis sejak malam kemarin. Kutinggalkan ini di sampingmu bersama hadiah terakhirku. Sebuah kalung berliontin love. Sinar matahari menyambut hadiahku. Aku segera berlari sekuat tenagaku. Aku harus segera tiba di rumah.
“Noona… jeongmal mianhae… mian karena harus pergi dengan cara diam-diam seperti ini. Aku pergi, dan mungkin tak akan pernah bisa kembali. Jadi, jangan mencariku. (ah, mana mungkin noona mencariku! Aku terlalu PD, Hehehe).
Noona, aku tahu waktuku tak banyak. Makanya aku memberikan hal-hal yang bisa keberikan padamu sebagai hadiahku. Hadiah-hadiah lain sudah kukirim ke rumahmu. Aku tak yakin dilain waktu aku bisa memberikannya. Kuharap kau menyukainya, noona.
Aku berharap aku bisa mengalungkan kalung ini padamu. Tapi rasanya tak mungkin.
Mianhae… karena sudah hadir dalam kehidupan noona dan mengusiknya.
Gomaweo, karena selama ini mau berbagi denganku. Gomaweo… karena sudah membiarkanku dekat denganmu, dan menganggapku sebagai dongsaeng-mu. Gomaweo karena sudah memperkenalkanku pada perasaan ini. Gomaweo karena sudah memberikanku cinta.
Jeongmal gomaweo noona, untuk segala hal.
Ki Bum”
Aku menulis itu untukmu. Mian, karena lari saat kau mengucapkan harapanmu. Jeongmal mianhae noona.
Benar saja noona. Aku merasakan tubuhku melemah. Aku langsung menyambung kisah ini agar kelak ketika aku pergi, umma bisa memberikan ini padamu. Kisah kita yang kuingin noona mengenangnya. Kuharap noona tak membuangnya dari kotak kenangan noona.
Noona, saranghae…
***
Shin Hye meremas lembaran itu.
“Di mana dia?”
Wanita itu menggeleng lemah.
Air mata mengaliri pipi Shin Hye.
Shin Hye menatap nanar pada gundukan tanah di depannya. “Kuharap, saat kau terlahir kembali aku bisa bertemu denganmu lagi, Ki Bum. Akan kukatakan kata yang tak sempat ku sampaikan padamu. ‘Ki Bum-ah… nado saranghae…’.”
-^-TAMAT-^-
coment ea....
No comments:
Post a Comment